Minggu, 29 Maret 2009

MEWUJUDKAN ORGANISASI ADVOKAT YANG MANDIRI DAN PROFESIONAL

OIeh: Hasanuddin Nasution

PENDAHULUAN

Makalah ini saya mulai dengan mengajukan pertanyaan sederhana, apakah Advokat itu?
Pertanyaan ini penting mengingat bahwa sebelum lahirnya UU No. 8 tahun 2003, kita memiliki istilah yang sangat beragam atas hal tersebut seperti pengacara, penasehat hukum, pembela, konsultan hukum dan lain sebagainya.
Berkaitan dengan hal tersebut marilah kita tinjau beberapa pengertian berikut ini :
Kata advokat, secara etimologis berasal dari bahasa latin “Advocare”, yang berarti “to defend, to call to one’s aid to vouch or warrant. Sedangkan dalam bahasa inggris Advocate berarti to speak in favour of or depend by argument, to support, indicate, or recommended publicly

Frans Hendra Winata, Advokat Indonesia, Cita, Idealisme, dan Keprihatinan, Sinar Harapan, Jakarta, 1995, halaman 19, dalam buku Advokat dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, Drs. Rahmat Rosyadi, S.H., M.H dan Sri Hartini, S.H., halaman 72..
Menurut Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) pada bab 1, pasal 1 ayat (1), Anggaran Dasar AAl, Advokat didefinisikan, termasuk penasehat hukum, pengacara praktek, dan para konsultan hukum
Yuda Pandu, Klien dan Penasehat Hukum dalam Perspektif Masa Kini, PT Abadi Jaya, Jakarta, 2001, halaman 11, dalam buku Advokat dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, Drs. Rahmat Rosyadi, SH., M.H dan Sri Hartini, S.H., halaman 73..
Advokat menurut UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah: “Orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan, berdasarkan ketentuan undang-undang ini”.
Dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khususnya pasal 1, butir 13, menyatakan bahwa; “seorang penasihat hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh dan/ atau berdasarkan undang-undang untuk memberikan bantuan hukum”.
Advokat, pengacara dan penasihat hukum dalam praktek hukum di Indonesia adalah orang yang mewakili kliennya untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan surat kuasa yang diberikan untuk pembelaan atau penuntutan pada acara persidangan di Pengadilan atau beracara di Pengadilan (litigator). Sedangkan konsultan hukum adalah orang yang bekerja di luar pengadilan yang bertindak memberikan nasihat-nasihat dan pendapat hukum terhadap suatu tindakan/perbuatan hukum yang akan dan yang telah dilakukan kliennya (non litigator)
Yudha Pandu, Klien dan Advokat dalam Praktek, halaman 9.
Dalam bahasa lnggris, advokat disebut Trail Lawyer. Secara spesifik di Amerika dikenal sebagai attorney at law atau di lnggris dikenal sebagai barrister. Peran dan tugas-tugas penting yang diberikan oleh penasihat hukum di Amerika dikenal sebagai counselor at law atau di lnggris dikenal sebagai Solicitor. Selain itu juga terdapat istilah-istilah hukum dalam bahasa Inggris yang melakukan pekerjaan bersifat non litigasi: di luar pengadilan, seperti corporate lawyer, legal officer, legal council, dan legal advisor, legal assistance.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa advokat adalah merupakan profesi yang memberi jasa hukum kepada masyarakat atau kliennya baik secara litigasi maupun non ligitasi dengan mendapatkan atau tidak mendapatkan honorarium/fee
Ibid, halaman 11..
Pengertian-pengertian yang diberikan terhadap istilah advokat ini di Indonesia terus berkembang secara cepat seiring dengan tuntutan demokrasi dan hak asasi manusia. Akan tetapi penting untuk dipahami dengan baik bahwa pengertian profesi (profession) advokat tersebut berbeda dari pengertian pekerjaan (job/occupation). Menurut Milerson, yang membedakan kaum professional dari pekerjaan yang lain adalah (1) ketrampilan yang didasarkan pada pengetahuan teoritis; (2) penyediaan latihan dan pendidikan; (3) pengujian kemampuan anggota; (4) organisasi; (5) kepatuhan kepada suatu aturan main professional; dan (6) jasa/pelayanan yang sifatnya altruistik.
Pada dasarnya agar Advokat dapat dikategorikan sebagai profesional perlu memenuhi persyaratan sebagai berikut :
harus ada ilmu (= hukum), yang diolah didalamnya.
Harus ada kebebasan. Tidak boleh ada hubungan dinas (dienstiverhouding) atau hierarchie.
Harus mengabdi kepada kepetingan umum. Mencari kekayaan tidak boleh menjadi tujuan.
Harus ada “clientele verhouding”, yaitu hubungan kepercayaan antara advokat dengan klien.
Harus ada kewajiban merahasiakan informasi yang diterima dari client. Akibatnya advokat harus dilindungi haknya merahasiakan informasi yang diterima dari client.
Harus ada immuniteit (hak tidak boleh dituntut) terhadap penuntutan-penuntutan tentang sikap dan perbuatan yang dilakukan dalam pembelaan.
Harus ada code ethica dan peradilan code ethica oleh suatu dewan kehormatan.
Boleh menerima honorarium yang tidak perlu seimbang dengan hasil pekerjaan atau banyaknya usaha atau jerih payah, pikiran yang dicurahkan di dalam pekerjaan itu. Orang yang tidak mampu, harus ditolong Cuma-Cuma dan dengan usaha yang sama.
Dari beberapa pengertian sebagaimana disebutkan di atas, dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa advokat sebagaimana diintrodusir oleh Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat adalah merupakan pengertian dan istilah yang dianggap sangat tepat, lugas, demokratis dan aspiratif serta akomodatif.
Dengan demikian kita patut harus bangga karena dengan Iahirnya Undang-Undang ini kita tidak lagi mengenal adanya perbedaan-perbedaan antara Advokat bagi mereka yang memiliki izin dan Menteri Kehakiman dengan wilayah kerja seluruh Indonesia dan Pengacara Praktek bagi mereka yang memiliki izin dari Pengadilan Tinggi dengan wilayah kerja dalam Iingkup propinsi.
SEKILAS TENTANG ORGANISASI ADVOKAT
Bentuk dan paradigma organisasi Advokat di Indonesia terus berubah, seiring dengan perkembangan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Secara historis perubahan itu dapat dikategorikan ke dalam 4 masa, yaitu :
Masa Hindia Belanda
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda kita belum mengenal bentuk organisasi Advokat yang permanen seperti sekarang ini, meskipun pada masa ini kita sudah mencatat adanya dua jenis peradilan yang dibentuk dan beroperasi di Indonesia, ialah: Raad van justitie dan Iandraad yang dibentuk berdasarkan staatsblaad 1847 no. 23 tentang Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Bleid der justitie in Indonesia (RO). Dimana dalam masa itu sudah ada profesi advokat, kendati dalam Iingkup dan komunitas yang sangat terbatas, yakni di kalangan orang-orang Belanda dan Asing Iainnya. Salah satu organisasi advokat yang ada pada kurun waktu itu adalah “Balie van Advocaten” yang didirikan oleh Mr. Sastro Mudjono, Mr. Iskak dan Mr. Soenarjo.
Masa Orde Baru
Untuk pertama kali dan dianggap sebagai cikal bakal organisasi Advokat di Indonesia baru muncul pada tahun 1963 atau delapan belas tahun setelah kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamirkan. Diawali dengan terbentuknya Persatuan Advokat Indonesia (PAl) pada tanggal 14 Maret 1963
Yudha Pandum Klien & Advokat dalam praktek, halaman 45.
Adapun Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) didirikan pada tanggal 30 Agustus 1964 di Solo. Dimana kemudian oleh pejabat Presiden, Bapak Jenderal Soeharto secara resmi PERADIN dakui sebagai satu-satunya organisasi advokat Indonesia pada tahun 1966
Loekman Wiriadinata, SH., Kemandirian Kekuasaan Kehakima,halaman 79.
Pernyataan Soeharto tentang satu-satu organisasi advokat dapat dianggap sebagai suatu pernyataan politik dalam rangka untuk Iebih memudahkan kontrol terhadap para advokat kala itu. Akan tetapi kontrol yang dijalankan oleh pemerintahan Soeharto itu hanyalah kamuflase, karena pada saat yang sama pemerintah juga mulai mendorong Iahirnya organisasi-organisasi advokat yang baru dalam rangka untuk memperlemah PERADIN. Organisasi-organisasi tersebut antara lain; Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Bina Bantuan Hukum (BBH), Pusat Bantuan dan Pengabdi Hukum (Pusbadi) dan lain-lain.
Sejarah kembali berulang, atas prakarsa Ali Said, selaku Menteri Kehakiman saat itu berhasil dibentuk organisasi advokat Indonesia baru yang bernama Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) pada tanggal 10 Oktober 1985. Dan organisasi baru ini juga dimaksudkan sebagai organisasi Advokat satu-satunya (wadah tunggal) bagi profesi Advokat di Indonesia. Akan tetapi keinginan tersebut mendapat perlawanan keras dari berbagai kalangan, khususnya dari kalangan Pengacara Praktek yang tidak dapat diakomodir didalam organisasi IKADIN.
Disisi lain dengan adanya perbedaan status antara Advokat dan Pengacara Praktek, adanya perbedaan pandang dalam sistim transformasi kepemimpinan dan mekanisme dalam organisasi, campur tangan dan itervensi penguasa (pemerintah) sampai dengan keinginan Advokat untuk membuat adanya spesialisasi atau kekhususan dalam prakteknya pada aspek-aspek hukum tertentu, menjadi faktor akselerasi dan stimulasi Iahirnya organisasi-organisasi Advokat yang baru, yang secara berturut-turut adalah: Ikatan Penasehat Hukum Indonesia berdiri pada tanggal 9 Mei 1987, Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), berdiri 27 JuIi 1990, Serikat Pengacara Indonesia (SPI) berdiri 28 Juni 1998, Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) berdiri 4 April 1989, Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).
Masa Reformasi
1) Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI)
Komite ini dibentuk untuk pertama kali tanggal 11 Februari 2002 oleh tujuh organisasi advokat, yaitu:
- Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN)
- Asosiasi Advokat Indonesia (AAI)
- Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI)
- Serikat Pengacara Indonesia (SPI)
- Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI)
- Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM)
- Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI)
Dengan terbentuknya Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI), maka Forum Komunikasi Advokat Indonesia (FKAI) yang ada sebelumnya telah meleburkan diri ke dalam KKAI, sehingga FKAI tidak ada lagi dan KKAI adalah satu-satunya forum organisasi profesi advokat Indonesia.
Paling tidak ada 2 (dua) tugas penting yang harus dilaksanakan oleh Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) pada waktu itu, ialah ;
- Mengambil alih penyelenggaraan ujian advokat dari Mahkamah Agung; dan
- Memperjuangkan Iahirnya undang-undanga advokat.
Setelah kedua tugas berat itu dapat dilaksanakan dengan baik, maka KKAI yang pertama ini dinyatakan dibubarkan dengan membentuk Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) yang baru, dimana KKAI yang baru ini terdiri dari 8 (delapan) organisasi advokat, yaitu:
- Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN)
- Asosiasi Advokat Indonesia (AAI)
- Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI)
- Serikat Pengacara Indonesia (SPI)
- Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI)
- Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM)
- Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI)
- Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).
Sampai saat ini kedelapan organisasi asal pendiri Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) sebagaimana disebutkan diatas adalah juga sebagai pendiri Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Sebagai catatan perlu disampaikan bahwa sampai saat inipun tidak ada dan tidak benar ada satu atau beberapa dari organisasi asal pendiri Peradi tersebut telah keluar dari Peradi.
Adapun tugas-tugasnya adalah melaksanakan kewenangan organisasi advokat sebagaimana dimaksud oleh pasal 32, ayat (3) Undang-undang no. 18 tahun 2003 tentang Advokat, antara lain: melakukan verifikasi advokat Indonesia pasal 29 ayat (2), dalam halmana hasil verifikasi tersebut harus dibuat dalam bentuk salinan buku daftar anggota advokat. Buku daftar anggota advokat tersebut kemudian disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Tugas-tugas verifikaasi tersebut telah dimulai sejak Desember 2003.
2. Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI)
Organisasi advokat ini untuk pertama kali didekiarasikan pada tanggal 21 Desember 2004 dan perkenalan (launching) PERADI & pengurusnya dilaksanakan pada tanggal 7 April 2005 di Balai Sudirman, Jakarta. Dalam struktur kepengurusan organisasi advokat PERADI periode 2005-2010 adalah sebagai berikut:
Ketua Umum : Dr. Otto Hasibuan, S.H., M.M. W
Wakil Ketua Umum : H. Indra Sahnun Lubis, S.H.
Ketua : Denny Kailimang, S.H., M.H.
Ketua : Drs. J.B. Haryanto, S.H., M.B.A.
Ketua : Trimedya Panjaitan, S.H.
Ketua : Fred B.G. Tumbuan, S.H., L.Ph.
Ketua : Soemarjono S., S.H.
Ketua : Drs. Taufik, OH., M.H.
Sekretaris Jenderal : Harry Ponto, S.H., LLM.
Wakil Sekretaris Jenderal : H. Abd. Rahim Hasibuan, S.H.
Wakil Sekretaris Jenderal : DR. H.Teguh Samudera,S.H., M.H.
Wakil Sekretaris Jenderal : Hj. Elza Syarief, S.H., M.H.
Wakil Sekretaris Jenderal : Hasanuddin Nasution, S.H.
Wakil Sekretaris Jenderal : Hoesein Wiriadinata, S.H., LLM.
Bendahara Umum : H.M. Luthfie Hakim, S.H.
Wakil Bendahara Umum : Julius Rizaldi, S.H., B.Sc., M.M.
Wakil Bendahara Umum : Sugeng Teguh Santoso, S.H.
Wakil Bendahara Umum : Drs. Nur Khoirin Yd., M.Ag.
Pada saat launching tanggal 7 April 2005 tersebut juga PERADI telah menyerahkan buku daftar anggota advokat Indonesia yang telah diverifikasi kepada Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman dan HAM sebagai perwujudan pasal 29 ayat (2), (3) Undang-undang No. 18 tahun 2003.
Berdasarkan Keputusan Perhimpunan Advokat Indonesia Nomor KEP. 03/PERADI/2005, tanggal 21 Maret 2005 telah membentuk dan mensahkan berdirinya Komisi Pendidikan Profesi Advokat Indonesia (KP2AI) sebagai pelaksana Pendidikan Khusus Profesi Advokat dan Pendidikan Lanjutan, Continuing Legal Education (CLE).
Sebagai kelanjutan dari Pendidikan Khusus Profesi Advokat ini, PERADI akan melaksanakan ujian advokat pada sekitar bulan November setiap tahunnya sebagai perwujudan pasal 3 ayat (1) huruf f, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat.
EKSISTENSI DAN KONSTITUSIONALITAS PERADI
Bahwa Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dibentuk di Jakarta pada tanggal 21 Desember 2004. Dan diperkenalkan kepada public pada tanggal 7 April 2005 di Balai Sudirman, Jakarta. Dalam perkenalan tersebut selain dihadiri oleh keluarga besar Advokat yang datang dari seluruh Indonesia, termasuk Advokat senior Adnan Buyung Nasution, juga dihadiri oleh Ketua Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman Dan Hak asasi Manusia dan Jaksa Agung. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat diundangkan pada tanggal 5 April 2003. Pasal 32 ayat (4) dan ayat (3) menegaskan bahwa; “dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, Organisasi Advokat telah terbentuk”. “Untuk sementara tugas dan wewenang Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini dijalankan bersama …dst”. Pasal 28 ayat (1) menyebutkan Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas Advokat. Dan pasal 1 ayat (4) dengan tegas menyebutkan bahwa Organisasi Advokat adalah organisasi profesi yang didirikan berdasarkan Undang-Undang ini.
Dalam rangka memperkuat dan mendukung pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 secara konstitusional dan legalistik terkait dengan kedudukan Peradi sebagai satu-satunya organisasi Advokat Mahkamah konstitusi telah mengeluarkan Putusan Nomor 014/PUU-IV/2006. Ada 2 (dua) hal penting yang secara eksplisit yang termuat dalam Putusan tersebut, terkait dengan kedudukan Peradi sebagai organisasi Advokat, yaitu ; 1) organisasi PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat pada dasarnya adalah organ Negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara. 2) bahwa pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Advokat sesungguhnya merupakan pasal yang sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat 2 tahun dan dengan telah terbentuknya PERADI sebagai Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga tidak relevan lagi untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya.
Secara realitas PERADI sejak tahun 2003 telah mengeluarkan kartu Advokat yang berfungsi sebagai kartu beracara di muka sidang pengadilan di seluruh Indonesia. Kartu tersebut sebagai pengganti kartu beracara yang sebelumnya dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi. Dan sampai sekarang kartu tersebut tetap dipergunakan dan berlaku sebagai kartu satu-satunya untuk beracara di Pengadilan maupun di instansi penegak hokum lainnya, termasuk kepolisian dan kejaksaan. Dus dengan demikian PERADI telah secara factual melaksanakan amanat Undang-Undang Advokat.
Sejak tahun 2006 sebagai pengejawantahan dan pelaksanaan pasal 2, ayat (2) Undang-Undang Advokat PERADI telah pula melantik advokat baru sejumlah 2.781 orang yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Sebagai informasi dapat disampaikan bahwa tahun 2008 dalam ujian Advokat yang dilaksanakan pada tanggal 6 Desember 2008 telah lulus 1.323 orang advokat baru atau 36,10% secara nasional dari 3.665 orang peserta uji yang tersebar di 19 wilayah propinsi.
Sebagai pelaksanaan pasal 2, ayat (1) PERADI telah menyelenggarakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) bekerjasama dengan Fakultas-Fakultas Hukum maupun Lembaga-Lembaga lainnya di seluruh Indonesia, termasuk Papua dan Aceh. Sampai tahun 2008 PKPA PERADI telah diikuti oleh 17.004 orang peserta yang diselenggarakan dalam 349 kali penyelenggaraan dan diselenggarakan oleh 245 Lembaga penyelenggara.
C. JENIS -JENIS ORGANISASI ADVOKAT
1. yaitu ; organisasi Advokat dalam arti yang penuh, dimana sifat keanggotaan adalah wajib. Jika kehilangan keanggotaan, akan kehilangan hak untuk berpraktek di wilayah hukum organisasi Integrated/Compulsory Bar/Mandatory Bar/Obligatory Bar, advokat tersebut.
2. Voluntary Bar, yaitu ; sifat keanggotaanya tidak wajib.

D. BENTUK-BENTUK ORGANISASI ADVOKAT
1.. Single Bar, yaitu ; hanya ada satu organisasi Advokat dalam suatu yurisdiksi (wilayah hukum). Organisasi lain tetap mungkin ada tapi hanya satu yang diakui Negara dan para advokat wajib bergabung di dalamnya.
2. Multi Bar :
- advokat wajib bergabung dalam satu organisasi advokat
- advokat tidak wajib bergabung dalam satu organisasi mana pun
3. Federasi, yaitu ; seluruh organisasi Advokat yang ada bergabung dalam federasi di tingkat nasional. Sifat keanggotaannya adalah ganda, yaitu pada tingkat local dan nasional.
E. PERAN DAN FUNGSI ORGANISASI ADVOKAT
Suatu organisasi bisa dikatakan baik apabila organisasi tersebut dan organ-organnya dapat menjalankan fungsi dan perannya sesuai dengan apa yang digariskan maupun yang diatur oleh undang-undang, khususnya undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang advokat termasuk anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta kode etik advokat.
Pada saat dunia sudah terintegrasikan karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti saat ini, terutama teknologi komunikasi dan informasi, maka Organisasi Advokat sebesar PERADI harus bisa berperan setidak-tidaknya dalam 3 (tiga) hal pokok, yaitu: pertama; sebagai agen pembaharuan hukum, dimana didalamnya terkandung makna sebagai agent of law development dan agent of law enculturation. Pelaksanaan tugas dan peran semacam ini secara konsisten dan konsekuen pada gilirannya dapat menciptakan advokat sebagai profesi yang terhormat (officium nobile) yang dapat mengakomodir semua kepentingan yang bersifat global tanpa menghilangkan kepentingan lokal. Peran semacam ini penting karena pada akhirnya pembaharuan hukum itu harus bertujuan untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat luas.
Sebagai agen pembaharuan hukum organisasi advokat harus bisa tampil lugas dan tegas, terutama jika berperan selaku fasilitator, mediator dan konsiliator terhadap semua kepentingan masyarakat yang ada. Hal ini penting mengingat bahwa selama ini belum ada organisasi advokat di Indonesia yang dapat melakukan peran semacam ini. Dalam rangka untuk mencapai kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan sebagaimana dimaksud, maka peran organisasi advokat yang kedua dan tidak kalah penting adalah sebagai penegak hukum sebagaimana diamanatkan oleh pasal 5 ayat (1), undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang advokat untuk mewujudkan keadilan dan hak asasi manusia.
Dan ketiga adalah dalam rangka peningkatan kualitas advokat. Jika kita perhatikan ketiga peranan organisasi advokat ini, maka dapat disimpulkan bahwa apabila peran ini dapat diselenggarakan dengan konsisten dan konsekuen oleh advokat, maka kesejahteraan rakyat yang kita idam-idamkan tersebut mungkin bisa mendekati kenyataan. Dengan demikian, maka beberapa tugas penting dan mendesak yang dilakukan oleh organisasi advokat khususnya PERADI saat ini adalah, antara lain:
1. menyelenggarakan pendidikan khusus advokat (sekarang ini sedang berlangsung);
2. mengangkat advokat (pasal 2 ayat (2));
3. menyelenggarakan ujian advokat (pasal 3 ayat (1) huruf f);
4. menyelenggarakan peradilan profesi melalui Dewan Kehormatan dan Majelis Kehormatan (pasal 7, pasal 26, dan pasal 27).;
5. memberhentikan advokat (pasal 9 ayat (1));
6. mengawasi advokat (pasal 12 ayat (1));
7. membentuk kelengkapan organisasi advokat (pasal 13 ayat (1)), pasal 27 ayat (1), dan pasal 27 ayat (4));
8. membentuk aturan-aturan Organisasi Advokat (pasal 13 ayat (3), pasal 26 ayat (1), pasal 27 ayat (5);
9. membentuk Buku Daftar Advokat (pasal 29 ayat (2));
10. merekomendasikan izin advokat asing (pasal 23 ayat (2)), dan
11. memfasilitasi magang calon advokat (pasal 29 ayat (5)).
Beberapa fungsi dan peran organisasi advokat yang dipandang perlu dilaksanakan oleh PERADI saat ini yang didasarkan pada konsep bar association adalah sebagai berikut:
1. menjaga dan meningkatkan standar prilaku advokat di Indonesia;
2. meningkatkan pengetahuan dan keterampilan profesi advokat di Indonesia;
3. membantu perumusan kebijakan yang berkaitan dengan hukum dan peradilan;
4. memperjuangkan dan menjaga integritas serta kemandirian peradilan;
5. melindungi serta memperjuangkan kepentingan profesi advokat di Indonesia;
6. melindungi dan memperjuangkan kesempatan yang sama bagi setiap anggota masyarakat dalam mendapat jasa hukum dan bantuan hukum di Indonesia;
7. turut mendidik masyarakat tentang hukum, proses hukum, prinsip hukum, dan hak-hak warga negara dalam sistem hukum dan peradiIan;
8. mengupayakan terciptanya hubungan yang baik antara advokat serta antara advokat dengan masyarakat dan unsur peradilan lain nya;
9. membina hubungan baik dengan organisasi advokat di negara lain dan di tingkat internasional
Pembentukan Organisasi Advokat di Indonesia, Keharusan atau Tantangan?, halaman 31 dan 32, Binjiad Kadafi, Hadi Herdiansyah, Reni Rawasita Pasaribu dan Sonny Tresnantya M.P..

F. KESIMPULAN
Dalam rangka untuk dapat mewujudkan organisasi advokat yang mandiri dan profesional, maka organisasi advokat harus tampil lugas dan tegas dalam menerapkan aturan-aturan organisasi, terutama kode etik yang merupakan pilar utama dan suatu organisasi. Kalau kita bisa menerapkan dan melaksanakan kode etik secara tegas, konsekuen dan konsisten, maka dapat dipastikan organisasi advokat akan tumbuh menjadi organisasi yang mandiri, tangguh dan profesional. Semoga.

HUKUM ACARA PERDATA

HUKUM ACARA PERDATA*

PENGERTIAN HUKUM ACARA PERDATA.

Hukum materiil dapat berupa hukum yang tertulis terjelma dalam undang-undang atau hukum yang tidak tertulis semuanya merupakan pedoman bagi setiap warga tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat dalam masyarakat.

Untuk melaksanakan hukum materiil perdata terutama dalam hal ada pelanggaran ataupun untuk mempertahankan berlangsungnya hukum materiil perdata dalam hal ada tuntutan hak maka diperlukan rangkaian peraturan-peraturan hukum lain disamping hukum materiil perdata itu sendiri,peraturan hukum inilah yang disebut hukum formil atau hukum acara perdata.

Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim, dengan kata lain hukum acara perdata adalah pelaksanaan hukum acara perdata.

Bahwa dengan kata lain hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana cara mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari putusan tersebut.

Tuntutan hak atau tuntutan untuk memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah eigenrichting ada dua macam yaitu tuntutan hak yang mengandung sengketa yang disebut gugatan dimana terdapat sekurang-kurangnya dua pihak dan tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa yang disebut permohonan,dimana hanya terdapat satu pihak saja, lajimnya peradilan ini menjadi peradilan sukarela (Voluntaire jurisdictie) sedangkan tuntutah hak yang mengandung sengketa disebut sebagai peradilan contentieus (contentieus jurisdictie).

Bahwa dari rangkaian uraian di atas ilmu pengetahuan hukum acara perdata adalah keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil dengan perantaraan kekuasaan negara perantaraan negara dalam mempertahankan hukum perdata itu terjadi dengan lembaga peradilan.

Hukum acara perdata meliputi 3 (tiga) tahap tindakan,yaitu: tahap pendahuluan, tahap penentuan dan tahap pelaksanaan. Tahap pendahuluan merupakan persiapan menuju kepada penentuan atau pelaksanaan.Dalam tahap penentuan diadakan pemeriksaan peristiwa dan pembuktian sekaligus sampai pada putusannya.Sedangkan tahap pelaksanaan diadakan pelaksanaan dari putusan tersebut.

SUMBER HUKUM ACARA PERDATA

Berdasarkan pasal 5 ayat 1 UUDar 1/1951, maka hukum acara perdata pada Pengadilan Negeri dilakukan dengan memperhatikan ketentuan UUDar tersebut menurut peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku untuk Pengadilan Negeri dalam daerah republik Indonesia dahulu. Yang dimaksud UUDar.1/1951 tersebut tidak lain adalah Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui: S.1848 No.16.S.1941 No.44) untuk daerah jawa dan Madura, dan Rechtsreglement Buitengwesten (Rbg atau Reglemen daerah seberang: S.1927 No.227) untuk luar jawa dan Madura.

Sedangkan Reglemen Op de Burgerlijke rechtsvordering (Rv atau reglemen hukum acara perdata untuk golongan eropa: S.1847 No.52,S.1849 No.63) merupakan sumber hukum acara perdata juga dan menurut Supomo dengan dihapusnya Raad Van Justitie dan Hooggerrechtshof maka Rv sudah dinyatakan tidak berlaku lagi sehingga dengan demikian hanya HIR dan RBg sajalah yang berlaku dalam hukum acara perdata di Peradilan Indonesia.

Sumber hukum perdata lainnya yang mengatur tentang hukum acara perdata adalah Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Mahkamah Agung RI yaitu Undang-undang No 4 Tahun 2004 yang didalam juga mengatur tentang acara beracara diPengadilan.

Disamping itu tidak kalah pentingnya sumber hukum acara perdata adalah Yurisprudensi, perjanjian Internasional dan juga Doktrin. Yurisprudensi merupakan sumber pula dari hukum acara perdata antara lain disebutkan dalam putusan MA tanggal 14 April 1971 No.99K/Sip/1971 yang menyeragamkan hukum acara perceraian bagi mereka yang tunduk pada BW.

Tidak kalah pentingnya bahwa Surat edaran juga merupakan sumber hukum acara perdata hal mana surat edara tidaklah mengikat hakim sebagaimana Undang-undang akan tetapi intruksi dan surat edaran merupakan sumber tempat hakim dapat menggali hukum acara perdata maupun hukum perdata materiil.

AZAS-AZAS HUKUM ACARA PERDATA

Hakim bersifat menunggu.
Hakim Pasif.
Sipat terbukanya persidangan
Mendengar kedua belah pihak
Putusan harus disertai alasan-alasan
Beracara dikenakan biaya
Tidak ada keharusan mewakili
Susunan persidangan Majelis
Azas sederhana, cepat dan biaya ringan
Hak menguji tidak dikenal

BAGAIMANA CARA MENGAJUKAN TUNTUTAN HAK ATAU GUGATAN KE PENGADILAN

Tuntutan hak atau gugatan adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah eigenrichting atau main hakim sendiri orang yang mengajukan tuntutan hak yang dipengadilan disebut mengajukan gugatan memerlukan atau berkepentingan akan memperoleh perlindungan hukum dan untuk mengajukan tuntutan hak disyaratkan adanya kepentingan untuk mengajukan tuntutan hak, seseorang yang tidak menderita kerugian mengajukan tuntutan hak tidak mempunyai kepentingan sudah wajar tuntutannya tidak diterima oleh Pengadilan. Akan tetapi tidak semua setiap kepentingan dapat diterima sebagai dasar pengajuan tuntutan hak. Jadi tuntutan hak harus mempunyai kepentingan hukum yang dapat diterima dan syarat utama diterimanya tuntutan hak oleh Pengadilan guna diperiksa adalah Point d’interet, point d’action ini tidak berarti bahwa tuntutan hak yang ada kepentingan hukumnya pasti dikabulkan. Hal ini masih tergantung pada pembuktian.
Tuntutan hak yang didalam pasal 118 ayat (1) HIR(pasal 142 RBg) disebut juga sebagai tuntutan perdata (Burgerlijke vordering) dan tidak lain adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan Lazim disebut gugatan. Gugatan dapat diajukan baik secara tertulis maupun lisan.
Bagaimanakan cara mengajukan gugatan. HIR atau RBg sendiri tidak mengatur tentang tatacara mengajukan gugatan, sedangkan persyaratan isi dari pada gugatan tidak ada ketentuannya
Persyaratan isi gugatan dapat kita jumpai dalam pasal 8 No.3 Rv yang mengharuskan gugatan pokoknya memuat: 1. Identitas dari para pihak, 2. Dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari pada tuntutan atau lebih dikenal dengan Fundamentum petendi dan 3. Tuntutan atau petitum.

A . BENTUK GUGATAN

Bentuk gugatan perdata yang dibenarkan Undang-undang dan Praktik dapat berupa gugatan Lisan dan gugat berbentuk tertulis.

1. Berbentuk Lisan.

Bentuk gugatan lisan diatur dalam pasal 120 HIR (pasal 144 RBG)yang menegaskan: Bilamana Penggugat buta hurup maka surat gugatannya dapat dimasukan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan itu atau menyuruh mencatatnya.

Syarat gugatan lisan sebagaiman dalam pasal 120 HIR hanya mengatur buta aksara, tidak mengatur orang yang buta hukum atau kurang memahami hukum tata cara pengajuan gugatan lisan yaitu diajukan gugatan dengan lisan kepada Ketua PN dan menjelaskan atau menerangkan isi dan maksud gugatan dan ketua PN wajib melayani dengan mencatat gugatan yang disampaikan Penggugat, merumuskan sebaik mungkin gugatan itu dalam bentuk tertulis yang diterangkan Penggugat.

2. Bentuk Tertulis
Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalam bentuk tertulis. Hal ini ditegaskan dalam pasal 118 ayat (1) HIR (pasal 142 RBg), menurut pasal ini gugatan perdata harus dimasukan kepada Pengadilan Negeri (PN) dengan surat permintaan yang ditanda tangani oleh Penggugat atau kuasanya. Dalam gugatan perdata yang berhak dan membuat dan mengajukan gugatan perdata adalah sebagai berikut:

Penggugat sendiri.
Kuasanya, sebagaimana dalam pasal 118 ayat (1) HIR dapat memberikan hak dan kewenangan kepada kuasa atau wakilnya untuk membuat, menandatangani atau menyampaikan surat gugatan kepada PN, ketentuan ini sejalan dengan pasal 123 HIR ayat (1) yang menyatakan baik Penggugat dan Tergugat (kedua belah pihak) dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa yang dikuasakan untuk melakukan tindakan didepan Pengadilan dan kuasa itu diberikan dengan Surat Kuasa Khusus (Spesial power attorney) supaya pembuatan dan penandatangan serta pengajuan surat gugatan yang dilakukan kuasa sah dan tidak cacat hukum harus ditempuh prosedur sebagai berikut sebelum membuat dan menandatangani surat gugatan, kuasa yang bertindak mewakili Penggugat harus lebih dahulu diberi surat kuasa khusus dan berdasarkan kuasa Khusus kuasa bertindak membuat, menandatangani dan mengajukan surat gugatan atas nama Penggugat atau pemberi kuasa.
Fomulasi gugatan.

Dalam pasal 118 dan 120 HIR tidak dijelaskan bagaimana syarat formil suatu surat gugatan akan tetapi sesuai dengan perkembangan praktik ada kecenderungan yang menuntut formulasi gugatan yang jelas Fundamentum petendi (posita) dan petitum sesuai dengan sistem Dagvaarding, yang harus dirumuskan dalam gugatan adalah sebagai berikut:

1. Ditujukan (dialamatkan) kepada PN sesuai dengan Kompetensi relatip.
Apabila surat gugatan salah alamat atau tidak sesuai dengan kompetensi relatif mengakibatkan gugatan mengandung cacat formil,karena gugatan disampaikan dan dialamatkan kepada PN yang berada diluar wilayah hukum yang berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya.

2. Gugatan diberi tanggal.
Ketentuan undang-undang tidak menyebutkan surat gugatan hrus mencantumkan tanggal, begitu juga gugatan dikaitkan dengan akta sebagai alat bukti pasal 1874 KUHPerdata tidak menyebutkan pencantuman tanggal didalamnya bila dikaitkan dengan pasal 118 ayat (1) HIR pada dasarnya tidak mencantum tanggal dalam gugatan tidak membuat gugatan cacat formil.

3. Ditandatangani Penggugat atau kuasanya.
Mengenai tanda tangan dengan tegas disebut sebagai syarat formil gugatan, pasal 118 ayat (1) KUHPerdata menyatakan gugatan perdata harus dimasukkan ke PN sesuai dengan Kompetensi relatif dan dibuat dalam bentuk surat permohonan yang ditandatangani oleh Penggugat atau oleh wakilnya (kuasanya), tanda tangan dapat ditulis dengan tangan sendiri, cap jempol yang disamakan dengan tanda tangan berdasarkan STB.1919-776.

4. Identitas para pihak.
Penyebutan identitas dalam surat gugatan merupakan syarat formil keabsahan gugatan. Surat gugatan yang tidak menyebutkan identitas para pihak, apalagi tidak menyebut identitas tergugat menyebabkan gugatan tidak sah dan dianggap tidak ada, penyebutan identitas para pihak berguna untuk penyampaian panggilan atau penyampaian pemberitahuan yang meliputi nama lengkap, alamat tempat tinggal dan penybutan identias lain adalah tidak imperatif.

5. Fundamentum petendi.
Fundamentum petendi berarti dasar gugatan atau dasar tuntutan (Grondslag van de lis) dalam praktek ada beberapa istilah yang akrab digunakan yaitu positum atau bentuk jamaknya posita dan dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah dalil gugatan.
a. Unsur Fundamentum petendi.
1). Dasar hukum.
Memuat penegasan atau penjelasan mengenai hubungan hukum antara Penggugat dengan materi dan atau objek yang disengketakan dan antara Penggugat dengan Tergugat berkaitan dengan materi atau objek sengketa.
2). Dasar fakta.
Memuat penjelasan pernyataan mengenai fakta atau peristiwa yang berkaitan langsung dengan materi atau objek perkara maupun dengan piah tergugat.
b. Dalil gugat yang dianggap tidak mempunyai dasar hukum.
1) Pembebasan pemidanaan atas laporan tergugat,tidak dapat dijadikan dasar hukum menuntut ganti rugi.
2). Dalil gugatan berkenaan dengan perjanjian tidak halal.
3). Dalil gugatan ganti rugi atas perbuatan melawan hukum mengenai kesalahan hakim dalam melaksanakan fungsi peradilan.
4). Dalil gugatan yang tidak berdasarkan sengketa, dianggap tidak mempunyai dasar hukum.
5). Tuntutan ganti rugi atas sesuatu hasil yang tidak dirinci berdasarkan,dianggap gugatan tidak mempunyai dasar hukum.
6). Dalil gugatan yang mengandung saling pertentangan, dimana antara dalil yang satu bertentangan dengan dalil yang lain.
7). Hak objek gugatan tidak jelas.

6. Petitum gugatan.
Syarat formulasi gugatan yang lain adalah petitum gugatan supaya gugatan sah dalam arti tidak mengandung cacat formil harus mencantumkan petitum gugatan yang berisi pokok tuntutan Penggugat yang berisi pokok tuntutan penggugat berupa deskripsi yang jelas menyebutkan satu persatu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan penggugat yang harus dinyatakan dan dibebankan kepada tergugat dengan kata lain petitum gugat berisi tuntutan atau permintaan kepada Pengadilan untuk dinyatakan dan ditetapkan sebagai hak Penggugat atau hukuman kepada tergugat atau kepada kedua belah pihak.

PEMERIKSAAN PERKARA GUGATAN DIPERSIDANGAN.

Pemeriksaan gugat perdata atau gugat Contentiosa jauh berbeda dengan pemeriksaan gugatan permohonan, kalau gugatan permohonan bersifat ex-parte yang artinya proses persidangan hanya sepihak yaitu hanya pemohon saja.
Proses pemeriksaan persidangan diawali setelah Penggugat memasukkan gugatannya dalam daftar Kepaniteraan PN dan membayar biaya perkara selanjutnya tinggal menunggu pemberitahuan hari sidang.
Kemudian setelah gugatan didaftarkan untuk selanjutnya Ketua PN menunjuk Hakim Majelis untuk menyidangkan perkara tersebut maka Hakim Ketua Majelis yang ditunjuk dengan surat penetapan menentukan hari sidang dan sekaligus memerintahkan kepada kedua belah pihak agar menghadap di PN pada hari sidang yang ditetapkan dengan membawa saksi-saksi dan bukti-bukti yang diperlukan (pasal 121 ayat (1) HIR.
Pemanggilan dilakukan oleh jurusita yang menyerahkan surat panggilan beserta salinan surat gugat itu kepada tergugat pribadi ditempat tinggalnya. Apabila tergugat tidak dapat ditemukakan rumahnya, maka surat panggilan itu diserahkan kepada kepala desa yang bersangkutan untuk diteruskan (pasal 390 ayat (1) HIR, 718 ayat (1) Rbg), kalau tergugat sudah meninggal maka surat pangilan itu disampaikan kepada kepala desa tempat tinggal terakhir dari tergugat yang meninggal tesebut, apabila tidak diketahui tempat tinggal tergugat, surat panggilan diserahkan kepada Bupati dan selanjutnya surat panggilan tersebut ditempatkan pada papan penguman di PN (pasal 126 HIR/150 Rbg) memberi kemungkinan untuk memanggil sekali lagi tergugat sebelum perkara diputus oleh Hakim, sebab dalam perkara perdata bukan hanya kepentingan penggugat saja yang harus diperhatikan, melainkan kepentingan tergugatpun harus pula diperhatikan (azas audi et alteram partem).

Apabila pada hari sidang pertama kedua pihak yang berperkara hadir dipersidangan maka ketua Majelis berusaha agar kepada kedua belah pihak yang berperkara dapat menyelesaikan perkaranya melalui perdamaian (mediasi sesuai dengan pasal 130 HIR/154 Rbg), akan tetapi setelah keluarnya Perma No.1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memberikan perintah kepada Hakim agar setiap perkara gugatan diadakan mediasi dengan menunjuk mediator dari Pengadilan atau Mediatior yang bersertifikat dengan diberikan jangka waktu selama 40 hari, apabila sebelum atau setelah 40 hari lewat jika kedua pihak tidak ada tercapai upaya mediasi maka perkara dilanjutkan dalam persidangan dan majelis hakim memerintahkan kepada kedua belah pihak untuk hadir pada hari sidang yang ditentukan untuk mendengar pembacaan gugatan dan memberikan kepada tergugat untuk memberikan jawab-menjawab setelah jawab-menjawab selesai kedua belah pihak diberikan kesempatan untuk membuktikan gugatannya dengan mengajukan bukti-bukti dan saksi-saksi dipersidangan. Dalam sistem pemeriksaan secara contradictoir digariskan dalam pasal 125 dan pasal 127 HIR proses pemeriksaan adalah sebagai berikut:

Di hadiri kedua belah pihak.
Prinsip umum yang diegakkan sesuai dengan asas due process of law yaitu para pihak dipanggil secara resmi dan patut oleh jurusita untuk menghadiri persidangan, namun ketentuan ini dapat dikesampingkan berdasarkan pasal 125 dan 127 HIR yang memberi kewenangan kepada hakim melakukan pemeriksaan secara verstek apabila tergugat tidak menghadiri sidang tanpa alasan yang sah, juga pemeriksaan tanpa bantahan apabila pada sidang berikut tergugat tidak hadir tanpa alasan yang sah.

Proses pemeriksaan berlangsung secara Op tegenspraak.
Sistem inilah yang dimaksud dengan proses contradictoir yang memberi hak dan kesempatan kepada tergugat untuk membatah dalil Penggugat, sebaliknya Penggugat juga berhak untuk melawan bantahan tergugat, proses pemeriksaan yang berlangsung dengan sanggah-menyanggah baik dalam bentuk replik-duplik maupun dalam bentuk konklusi inilah disebut kontradiktoir.

Pengguguran gugatan.
Mengenai pengguguran gugatan diatur dalam pasal 124 HIR dimana syarat pengguguran supaya sah bahwa penggugat telah dipanggil secara patut dan penggugat tidak hadir tanpa alasan yang sah.

Pengguguran dilakukan oleh hakim secara ex-officio dimana pasal 124 HIR memberi kewenangan kepada hakim untuk menggugurkan gugatan apabila telah terpenuhi kedua alasan tersebut diatas, yang apabila penggugat tidak mematuhi tata tertib beracara hal ini merupakan hukuman bagi penggugat dan membebaskan tergugat dari kesewenangan, pengguguran dilakukan pada sidang pertama dimana apabila pada sidang pertama penggugat telah dipanggil secara patut tetapi tidak hadir maka pada sidang kedua perkara tersebut digugurkan dengan ketentuan pada sidang kedua penggugat juga tidak hadir, pengguguran gugatan tidak bersifat imperatif tetapi bersipat fakultatif dan putusan pengguguran tidak bersipat ne bis in idem.



Pencabutan gugatan.
Pencabutan gugatan gugatan harus berpedoman kepada pasal 271-272 Rv dimana pencabutan gugatan merupakan kebutuhan praktik dan hal ini tidak diatur dalam HIR dan pencabutan merupakan hak penggugat.

Pencabutan mutlak hak pengugat selama pemeriksaan belum berlangsung, jika pemeriksaan telah berlangsung maka pencabutan gugatan harus mendapat persetujuan tergugat.

Perubahan gugatan
Perubahan gugatan juga tidak diatur dalam HIR, akan tetapi perubahan gugatan merupakan hak penggugat, perubahan diajukan bukan dimohonkan,j adi dapat saja hakim tidak berkenan untuk mengabulkan perubahan gugatan, syarat perubahan gugatan sebagaimana diatur dalam pasal 127 RV tidak menyebut syarat formil mengajukan gugatan tetapi MA dalam buku pedoman menegaskan perubahan gugatan diajukan pada hari sidang pertama dan diahdiri oleh tergugat dan tidak dibenarkan perubahan dilakukan diluar sidang juga pada jam sidang yang tidak dihadiri oleh tergugat, hal ini juga memberikan hak kepada tergugat untuk menanggapi perubahan gugatan tersebut.

Penggabungan gugatan.
Meskipun HIR dan Rv tidak mengatur penggabungan gugatan, dalam praktik peradilan sudah lama menerapkannya Supomo menunjukan salah satu putusan Raad van Justitie Jakarta tanggal 20 Juni 1939 yang memperbolehkan penggabungan gugatan asal antara gugatan-gugatan itu terdapat hubungan erat (innerlijke samenhang) pendapat ini sejalan dengan putusan MA No.575/K/Pdt/1983.

Penggabungan gugatan bermaksud untuk mewujudkan peradilan sederhana, menghindari putusan yang saling bertentangan.

PEMBUKTIAN DALAM PERKARA PERDATA

Hukum pembuktian merupakan hukum yang komplek karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekontruksikan kejadian atau peristiwa masa lalu sebagai suatu kebenaran, meskipun kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan.

A. Prinsip umum Pembuktian.
Prinsip umum pembuktian adalah landasan penerapan pembuktian, semua pihak termasuk hakim harus berpegang pada patokan yang digariskan prinsip dimaksud. Sistem umum pembuktian secara umum adalah pembuktian mencari dan mewujudkan kebenaran formil dimana harus dibutkikan berdasarkan alat bukti yang mencapai minimal pembuktian yakni sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang memenuhi syarat formil dan materiil juga harus didukung oleh keyakinan Hakim.

Dalam hukum perdata, tugas dan peran hakim bersifat pasif tetapi dalam penegasannya MA dalam putusan No.288 K/sip/1973 berdasarkan yurispudensi sistem hukum pembuktian dalam acara perdata khususnya tentang pengakuan, hakim berwenang menilai suatu pengakuan sebagai alat bukti yang tidak mutlak apabila pengakuan itu tidak benar, dengan adanya pengakuan dari salah satu pihak artinya membenarkan pihak yang lain maka pemeriksaan perkara dapat di akhiri.

B. Beban pembuktian.
Dalam sistem pembuktian perkara perdata beban pembuktian merupakan salah satu bagian yang sangat penting, untuk menentukan kepada pihak mana beban pembuktian harus dipikulkan, untuk dapat memberikan beban pembuktian yang proporsional maka diperlukan prinsip beban pembuktian yang bersikap tidak berat sebelah sebagaiman didasarkan pada pasal 163 HIR yang menyatakan barang siapa mendalilkan suatu hak atau tentang adanya suatu fakta untuk menegakkan hak maupun untuk menyangkal hak orang lain harus membuktikan hak tersebut atau fakta lain. dari pasal tersebut juga kepada para pihak ditegaskan resiko dan alokasi pembebanan dimana barang siapa atau pihak yang menurut hukum dibebani pembuktian berarti mendapat alokasi untuk membuktikan hal itu, apabila yang bersangkutan tidak mampu membuktikan apa yang dialokasikan kepadanya pihak itu menanggung resiko kehilangan hak dan kedudukan atas kegagalan memberikan bukti yang relevan atas hal tersebut.

Dalam hukum materiil sendiri menentukan beban pembuktian yang diatur dalam pasal 1865 KUHPerdata,juga perlu diingat dalam pembuktian adanya batas minimal pembuktian.

Pengertian batas minimal adalah suatu jumlah alat bukti yang sah yang paling sedikit harus terpenuhi, agar alat bukti itu mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk mendukung kebenaran dalil atau dukemukakan apabila alat bukti yang diajukan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup untuk membuktikan kebenaran dalil atau peristiwa maupun pernyataan yang dikemukakan.

Misalnya dalam putusan MA No.1444 K/Pdt/1985 dalam putusan itu ditegaskan ternyata penggugat hanya mengajukan bukti terdiri dari: a . surat pembayaran ipeda, b. ditambah satu orang saksi yang kualitasnya sebagai saksi de audito, sehingga keterangan yang diberikan berdasarkan pendengaran dari orang lain (testimonium de auditu) atas dasar alat bukti yang diajukan pengadilan menilai belum mencapai batas minimal pembuktian



C. Klasifikasi kekuatan alat bukti dikaitkan dengan batas minimal pembuktian.
Alat bukti dalam pasal 1866 KUHPerdata yang merupakan alat bukti dalam perkara perdata terdiri dari:
Satu: Surat, dua: saksi-saksi, tiga: persangkaan, empat: pengakuan, dan lima: sumpah.

Alat bukti surat
Jika dinilai dari klasifikasi alat bukti maka alat bukti surat diklasifikasikan akta otentik, akta dibawah tangan dan akta sepihak atau pengakuan sepihak.

Bagi akta otentik sebagaimana diatur dalam pasal 1870 KUHPerdata mempunyai kekuatan bukti sempurna dan mengikat yang berati kebenaran isi dan pernyataan yang tercantum didalamnya mengikat kepada pihak-pihak yang ada didalam akta tersebut dan juga mengikat hakim untuk mematuhi akta tersebut.

Alat bukti saksi
Alat bukti saksi mempunyai nilai pembuktian bebas artinya hakim bebas mempertimbangkan atau menilai keterangan saksi bedasarkan kesamaan atau saling berhubungan antara saksi yang satu dengan yang lain sehingga nilai pembuktian keterangan saksi bahwa hakim tidak wajib terikat menerima atau menolak kebenarannya dan juga ditegaskan dalam pasal 1908 KUHPerdata dan 172 HIR dengan prinsip unus testis nullus testis artinya satu saksi bukan saksi.

Alat bukti pengakuan.
Mengenai kekuatan alat bukti pengakuan diatur dalam pasal 1925 KUHPerdata. pasal 174 HIR bahwa nilai kekuatan pembuktian dan batas minimal pembuktian dilihat dari bagaimana pengakuan itu diberikan dipersidangan jika pengakuan murni dan bulat maka nilai kekuatan pemnbuktiannya adalah sempurna, mengikat dan menentukan, jika pengakuan berklausal maka nilai pembuktiannya bersipat bebas, tidak sempurna dan tidak mengikat dan hal itu diserahkan kepada hakim.

Alat bukti persangkaan.
Kekuatan pembuktian alat bukti persangkaan diatur dalam pasal 1916, 1922 KUHPerdata dan pasal 173 HIR dalam pasal tersebut dikenal dua alat bukti persangkaan. jika persangkaan berdasarkan undang-undang pada prinsipnya nilai kekuatan pembuktian bersipat sempurna, mengikat dan memaksa oleh karena itu kebenaran yang melekat pada alat bukti ini bersipat imperatip bagi hakim untuk dijadikan dasar penilaian pengambilan keputusan,akan tetapi nilai kekuatan pembuktian yang mutlak ini hanya berlaku bagi persangkaan menurut Undang-undang yang tidak dapat dibantah. berbeda dengan persangkaan yang ditarik dari fakta dipersidangan nilai kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada hakim artinya nilai kekuatan pembuktiannya tidak bisa berdiri sendiri, minimal harus ada dua persangkaan atau satu persangkaan ditambah dengan alat bukti lainnya.

Alat bukti sumpah.
Nilai kekuatan alat bukti sumpah diatur dalam pasal 1929,1930 KUHPerdata, pasal 177 HIR, terdapat dua alat bukti sumpah yaitu satu sumpah menentukan dan kedua sumpah tambahan dalam sumpah yang menentukan batas minimal kekuatan pembuktian mempunyai nilai kesempurnaan, kekuatan mengikat dan kekuatan memaksa dan pengguguran hanya dilakukan berdasarkan putusan pidana atas kejahatan sumpah palsu. dan alat bukti sumpah menentukan ini jika tidak ada bantahan dari pihak lawan dapat berdiri sendiri tanpa tambahan alat bukti lain. sedangkan alat bukti sumpah tambahan harus diserta dengan alat bukti lainnya.

PENYITAAN DALAM PERKARA PERDATA

Bagi penggugat penyitaan adalah sangat penting agar gugatan nya dikabulkan,penggugat juga berkepentingan jika gugatannya dikabul kan terjamin haknya atau dapat dijamin putusannya dapat dilaksanakan sebab ada kemungkinan selama sidang berjalan pihak lawan atau ter gugat mengalihkan harta kekayaannya kepada orang lain,sehingga apabila kemudian gugatan penggugat dikabulkan oleh pengadilan putu-san itu tidak dapat dilaksanakan disebabkan tergugat sudah tidak mempunyai harta kekayaan lagi.

Untuk kepentingan penggugat agar terjamin haknya sekiranya gugatan penggugat dimenangkan nantinya undang-undang menyediakan upaya hukum untuk menjamin hak tersebut yang dikenal dengan penyitaan. penyitaan diatur dalam pasal 197ayat (9),199 HIR /212,214 Rbg oleh karena itu penyitaan disebut juga sita conservatoir atau sita jaminan.

Ada dua macam sita yaitu 1.sita jaminan terhadap barang milik sendiri (Pemohon) dan 2.Sita jaminan terhadap barang milik orang lain(debitur).

1. Sita jaminan terhadap miliknya sendiri.
Penyitaan ini dilakukan terhadap barang milik kreditu(penggugat) yang dikuasai oleh orang lain.sita jaminan ini bukanlah tagihan berupa uang,melainkan menjaminkan suatu hak kebendaan dari pemohon atau kreditu dan berakhir dengan penyerahan barang yang disita.

Sita jaminan terhadap barang miliknya sendiri ini ada dua macam terdiri dari :
Sita revindicatoir.
Sita ini diatur dalam pasal 226 HIR/260 Rbg dimana pemilik barang bergerak yang barangnya ada ditangan orang lain dapat diminta ,baik secara lisan maupun tertulis kepada KPN ditempat orang yang memegang barang tersebut tinggal agar barang tersebut disita ,jadi yang dapat mengajukan penyitaan adalah setiap pemilik barang bergerak yang barangnya dikuasai oleh orang lain contohnya hak rekalme pasal 1977 ayat(2) BW.

Sita Maritaal.
Sita Maritaal bukanlah untuk menjamin suatu tagihan uang atau penyerahan barang,melainkan agar barang yang disita tidak dijual.jadi fungsinya hanya melindungi hak pemohon selama pemeriksaan sengketa perceraian dipengadilan berlangsung atau dengan kata lain untuk melakukan penyimpanan atau membekukan barang-barang yang disita,karena hanya menyimpan dan membekukan maka sita ini tidak perlu dinyatakan sah dan berharga apabila gugatan penggugat dimenangkan.

Yang dapat disita secara maritaal ialah baik barang bergerak dari kesatuan harta kekayaan atau milik isteri maupun barang tetap dari kesatuan harta kekayaan sebagaimana diatur dalam pasal 823 Rv.

2. Sita jaminan terhadap barang milik kreditur.
Penyitaan inilah yang disebut sita conservatoir.sita ini merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada KPN untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata dengan menguangkan atau menjual barang tergugat yang disita guna memenuhi tuntutan penggugat.

Penyitaan ini hanya dapat terjadi atas perintah KPN atas permintaan penggugat.sita ini diatur dalam pasal 227 ayat (1) HIR/261 ayat(1) Rbg ,dalam konkritnya permohonan diajukan kepada Hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan dan setelah memenuhi syarat-syarat dan pertimbangan hakim yang memeriksa maka hakim yang memeriksa perkaranya mengelaurkan penetapan tentang sita tersebut.

Karena fungsinya untuk menjamin hak maka permohonan sita jaminan selalu berkaitan dengan pokok perkara dan lazimnya permohonan sita diajukan sebelum perkara diputus oleh hakim yang memeriksa perkara.

Bahwa sita conservatoir ini fungsinya tidak semata-mata untuk menyimpan barang yang disita,tetapi untuk kemudian untuk dijual maka sita jaminan apabila dikabulkan perlu memperoleh titel eksekutorial sehingga perlu dinyatakan sah dan berhargan didalam putusannya,apabila gugatan ditolak maka sita harus dinyatakan dicabut.

Sita conservatoir ini memberikan kewenangan kepada hakim untuk menyita barang-barang sebagai berikut :

a. Sita conservatoir atas barang bergerak milik debitur.
Barang bergerak yang disita harus dibiarkan tetap ada pada tergugat atau tersita untuk disimpannya dan dijaganya serta dilarang menjual atau mengalihkannya.sita ini diatur dalam pasal 227 jo 197 HIR/261 jo 208 Rbg.barang bergerak yang disita dapat pula disimpan di Pengadilan Negeri dengan dicatat dalam register penyitaan.

b. Sita conservatoir atas barang tetap milik debitur.
Penyitaan barang tetap itu meliputi juga tanaman diatasnya serta hasil panen pada saat dilakukan penyitaan.kalau barang tetap disewakan oleh pemiliknya,maka panen itu menjadi milik sipenyewa.ketentuan mengenai sita ini diatur dalam pasal 227,197,198,199 HIR/208,214 Rbg.penyitaan barang tetap harus dilakukan oleh jurusita ditempat barang-barang itu terletak dengan mencocokan batas-batas dan disaksikan oleh pamong desa ,tidak hanya pemilik barang tetap itu saja dan agar diketahui orang banyak salinan berita acara sita didaftarkan dikantor pendaftaran tanah sesuai dengan PP No.10/1961 jo pasal 198 ayat (1) HIR.

c. Sita conservatoir atas barang bergerak milik debitur yang ada ditangan pihak ketiga.
ketentuan penyitaan ini diatur dalam pasal 197 ayat (8) HIR/728 RV/211 Rbg .dalam hal debitur menpunyai pihutang kepada pihak ketiga maka kreditur untuk menjaminkan haknya dapat melakukan sita conservatoir atas barang bergerak milik debitur yang ada pada pihak ketiga itu.sita ini disebut derdenbeslag diatur dalam pasal 728 Rv ,dimana kreditur dapat menyita atas dasar akta otentik atau akta dibawah tangan ,uang dan barang yang merupakan pihutang debitur yang ada ditangan pihak ketiga,dalam Rv juga diatur tentang sita terhadap kreditu diatur dalam pasal 750a Rv,sita gadai,sita terhadap debitur yang tidak mempunyai tempat tinggal diindonesia dan sita atas pesawat terbang.

d. Sita conservatoir terhadap kreditur.
Ada kemungkinan debitur mempunyai hutang kepada kreditur .jadi ada hubungan hutang pihutang timbal balik antara kreditur dengan debitur dan padahakekatnya sita ini tidak lain adalah sita conservatoir atas barang-barang yang ada ditangan pihak ketiga.

e. Sita gadai.
Sita gadai hanya dapat dilakukan berdasarkan tuntutan yang disebut dalam pasal 1139 BW dan dijalankan atas barang-barang yang disebut dalam pasal 1140 BW.

f. Sita conservatoir atas barang-barang debitur yang tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal di Indonesia atau orang asing bukan penduduk Indonesia.
Rasio dari sita ini adalah untuk melindungi penduduk Indonesia terhadap orang asing bukan penduduk Indonesia.

g. Sita conservatoir atas pesawat terbang.
Pada azasnya semua barang bergerak maupun tetap milik debitur menjadi tanggungan untuk segala perikatan yang bersipat perorangan (pasal 1131 BW).ada bagian-bagian dari harta kekayaan yang tidak dapat disita dan ada yang dibebaskan dari penyitaan .
Pesawat terbang dapat disita berdasarkan ketentuan pasal 763h-763k Rv.

PUTUSAN HAKIM

Pemeriksaan suatu sengketa atau perkara dimuka hakim diakhiri dengan suatu putusan atau biasanya disebut vonis,dalam memutus suatu perkara hakim mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dengan memperhubungkan hukum yang sebenarnya antara dua pihak yang bersengketa itu.

Dalam suatu putusan hakim tidak selalu bersipat penghukuman ,bisa juga bersipat pernyataan misalnya jika penggugat berhasil membukti seluruh dalil-dalil gugatannya dan apa yang dituntut ada dalam petitum maka bersandar pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku maka pengadilan harus mengabulkan gugatan penggugat ,ada juga manakala penggugat hanya berhasil membuktikaN sebagian dari dalil-dalil gugatannya maka gugatan selebihnya harus ditolak.

Dari apa yang dilihat dapat dikatakan bahwa putusan hakim tidak selalu harus berisi penghukuman (Condemnatoir) bisa juga berisi hanya pernyataan misalnya sebagai ahli waris dari si Pulan hal ini dinyatakan sebagai pernyataan hal disebut sebagai pernyataan (declaration),ada juga putusan hakim yang menciptakan keadaan yang baru dinamakan konstitutip.adakala juga mengadung penghukuman dan pernyataan hal itu dilihat dari bagaimana penggugat dapat membuktikan gugatannya dimuka persidangan.

Disamping itu putusan hakim tadi juga harus mempunyai suatu kekuatan eksekutorial yaitu dapat dipaksakan dengan bantuan kekuatan umum (Polisi dan TNI) .dan akhirnya putusan yang sudah memperoleh kekuatan mutlak itu mempunyai kekuatan mengikat dalam arti tiada boleh perkara yang sudah diputus diajukan lagi ke muka persidangan atau jika diajukan lagi kepada penggugat tersebut diputus dengan putusan Ne bis in idem.

FORMULASI PUTUSAN.
Maksud formulasi putusan adalah susunan dan sistematik yang harus dirumuskan dalam putusan agar memenuhi syarat perundang-undangan yang diatur dalam pasal 184 ayat(1)HIR/pasal 195 Rbg ,mengenai formulasi putusan ini juga diatur dalam pasal 23 UU No.14 Tahun 1970 sebagaimana diubah dengan UU No.35 tahun 1999 sekarang dalam pasal 25 UU No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.ada beberapa formulasi yang harus diperhatikan yaitu :

1. memuat secara ringkas dan jelas pokok perkara, jawaban, pertimbangan dan amar putusan.

Dalam pemuatan secara ringkas dan jelas ini maka yang perlu dimuat adalah sebagai berikut :

a. Dalil gugatan.
Dalam dalil gugatan atau findamentum petendi dijelaskan dengan singkat dasar hukum dan hubungan hukum serta fakta yang menjadi dasar gugatan ,cukup berupa ringkasan dalil gugatan tetapi harus jelas dan dimengerti.

b. Mencantumkan jawaban tergugat.
Pengertian jawaban dalam arti luas meliputi replik dan duplik serta konklusi oleh karena itu sesuai dengan tata tertib beracara yang harus dirumuskan dalam putusan meliputi replik dan duplik maupun konklusi,ringkasan mengenai hal ini harus tercantum dalam putusan kelalaian mencantumkan mengakibatkan putusan menjadi batal demi hukum lihat putusan No.312 K/sip/1974.

c. Uraian singkat ringkas dan lingkup pembuktian.
kan masing-Berisi alat bukti apa saja yang diajumasing pihak dan terpenuhi atau tidak syarat formil dan syarat materiil masing-maing alat bukti yang diajukan.

d. Pertimbangan hukum.
Berisi apakah alat bukti yang diajukan penggugat dan tergugat memenuhi syarat formil dan syarat materiil,dan apakah alat bukti mana telah mencapai batas minimal pembuktian,dalil gugat apa saja dan dalil bantahan apa saja yang terbukti serta sejauh mana nilai kekuatan pembuktian alat bukti tersebut.

e. Ketentuan perundang-undangan.
Dalam putusan juga berisi pasal-pasal perundangan yang diterapkan dalam putusan ,hal mana diatur dalam pasal 23 ayat (1) UU No.14 tahun 1974 sebagaimana diubah dengan UU No.35 tahun 1999 jo pasal 25 UU No.4 tahun 2004,yang memuat segala putusan pengadilan selain memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan harus juga memuat pasal-pasal tertentu dan peraturan perundangan-undangan yang menjadi landasan putusan.

f. Amar putusan.
Amar atau diktum putusan merupakan pernyataan yang berkenaan dengan status dan hubungan hukum antara para pihak dengan barang objek yang disengketakan.jika gugatan terbukti seluruh dalil gugatan maka amarnya menyatakan menyatakan mengabulkan seluruh gugatan penggugat,jika hanya sebagaian yang terbukti maka amarnya berbunyi mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian.adakalanya gugat tidak dapat diterima(niet ontvankelijke verklaard) karena adanya cacat formil gugatan seperti error in persona atau obscuur libel dan sebagainya.adakalanya dalil-dalil gugatan tidak dapat dibuktikan oleh penggugat maka putusan akan menolak gugatan untuk seluruhnya.

g. Pada formulasi putusan juga pembebanan biaya perkara.
Prinsip pembebanab biaya perkara merujuk pada pasal 181 ayat(1) HIR/pasal 192 ayat(1) Rbg,biasanya dibebankan kepada pihak yang kalah dan juga adakalanya dibebankan kepada kedua pihak jika kemenangan tidak mutlak atau berimbang.

PUTUSAN VERSTEK

Putusan verstek tidak terlepas kaitannya dengan fungsi beracara dan penjatuhan putusan atas perkara yang disengketakan,yang memberi wewenang kepada hakim menjatuhkan putusan tanpa hadirnya Tergugat dan persoalan verstek diatur dalam pasal 124 HIR(oasal 77 Rv) dan pasal 125 ayat (1) Rbg(pasal 73 Rv).
Supomo menyebut dengan verstek dengan istilah acara diluar hadir sedangkan Subekti tetap mempergunakan istilah aslinya tetapi tulisannya “ perstek”.
Dalam praktek pengadilan istilah verstek sudah lazim digunakan sehingga dalam tulisan ini kita pergunakan istilah verstek,maksud utama putusan verstek dalam hukum acara adalah untuk mendorong para pihak mentaati tata tertib beracara,sehingga proses pemeriksaan penyelesaian perkara terhindar dari anarki atau kesewenangan.
A.SYARAT ACARA VERSTEK
Perihal syarat sahnya penerapan acara verstek kepada tergugat,merujuk pada ketentuan pasal 125 ayat(1)HIR atau pasal 78 Rv.bertitik tolak dari pasal tersebut maka syarat-syarat verstek sebagai berukut :
Tergugat telah dipanggil dengan sah dan patut.
Pemanggilan sah digariskan dalam pasal 390 ayat(1) dan (3) HIR jika tempat tinggal diketahui disampaikan kepada yang bersangkutan sendiri atau keluarganya melalui tempat tinggal domisili pilihan,dan disampaikan kepada kepala desa apabila yang bersangkutan dan keluarga tidak ditemukan jurusita ditempat kediamannya.Jika tempat tinggal tidak diketahui jurusita menyampaikan kepada walikota atau Bupati dan bupati atau walikota mengumumkan atau memaklumkan surat jurusita itu dengan jalan menempelkan pada papan pengumuman sidang PN.Jika tergugat berada diluar negeri dalam praktek berpedoman pada pasal 6-8 Rv dalam hal ini telah ada pedoman melalui jalur diplomatik.
Tidak hadir tanpa alasan sah.
Bila tergugat tidak datang menghadiri panggilan sidang tanpa alasan sah maka dapat diputus dengan verstek ,alasan sah sebagaimana diatur dalam pasal 125 ayat(1) HIR tidak jekas mengatur akan hal ini akan tetapi bertitik tolak dari pendekatan kepatututan dihubungkan dengan prinsip fair trial ,tidak adil menghukum tergugat dengan putusan verstek apabila kehadirannya disebabkan alasan yang masuk akal secara objektif.seperti alasan sakit,ditugaskan atasan ke bandung dsb.jika tergugat telah dipanggil tetapi tidak hadir tanpa alasan yang sah dan hakim menilai alasan ketidakhadiran tergugat tiada alasan yang sah maka putusan dijatuhkan dengan verstek.
Tergugat tidak mengajukan Eksepsi kompetensi.
Hukum acara memberi hak kepada tergugat mengajukan eksepsi kompetensi absolut berdasarkan pasal 134 HIR atau relatif berdasarkan pasal 133 HIR.apabila tergugat tidak megajukan eksepsi seperti itu,hakim dapat langsung menyelesaikan perkara dengan verstek.

UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN VERSTEK
Dalam pasal 129 HIR,pasal 153 Rbg mengatur berbagai aspek mengenai upaya hukum terhadap putusan verstek.
Ayat(1) mengenai bentuk upaya hukumnya adalah perlawanan atau verzet.
Ayat (2),mengatur mengenai tenggang waktu.
Ayat (3) mengatur mengenai cara pengajuan upaya hukum.
Ayat(4) mengatur permintaan penundaan eksekusi putusan verstek.
Ayat(5) mengatur tentang verzet terhadap verstek.
yang berhak mengajukan perlawanan.
Berdasarkan pasal 129 ayat (1) HIR dan pasal 83 Rv yang berhak mengajukan perlawanan hanya Tergugat saja,sedangkan kepada penggugat tidak diberi hak mengajukan perlawanan sesuai dengan putusan MA No.524 K/Sip/1975 verzet terhadap verstek hanya dapat diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara ,dalam hal ini pihak tergugat tidak oleh pihak ketiga.
Undang-undang tidak memberi hak kepada penggugat mengajukan perlawanan terhadap putusan verstek,namun demikian secara seimbang dan timbal balik pada pasal 8 ayat(1) UUNo.20 Tahun 1947 memberi upaya hukum kepada penggugat,jika penggugat menggunakan upaya hukum banding maka dengan sendirinya upaya perlawanan menjadi gugur.
Klasifikasi tenggang waktu mengajukan perlawanan.
Ada beberapa tenggang waktu yang dikaitkan dengan faktor penyampaian pemberitahuan yang dilakukan jurusita,sehingga menurut hukum ada tiga klasifikasi.
14 hari, apabila pemberitahuan disampaikan kepada pribadi tergugat ,ketentuan ini merupakan aturan umum diterapkan apabila terpenuhi syarat pemberitahuan putusan verstek dilakukan juru sita langsung kepada diri pribadi tergugat dan pemberitahuan disampaikan di tempat tinggal atau kediaman tergugat ,bila pemberitahuan disampaikan kepada kuasa maka dilihat dari isi surat kuasa.
Apabila tenggang waktu dilampaui akibat yang timbul maka gugur hak tergugat mengajukan perlawanan,tergugat dianggap menerima verstek sehingga putusan verstek memperoleh kekuatan hukum tetap.
Sampai hari kedelapan sesudah peringatan apabila pemberitahuan putusan tidak langsung kepada diri pribadi tergugat.
Penerapan tenggang waktu ini digantungkan pada syarat pemberitahuan tidak langsung disampaikan kepada diri pribadi atau kuasa tergugat,tetapi kepada orang lain sperti anggota keluarga atau kepala desa.
Pemberitahuan melalui media masa ditafsirkan sebagai pemberitahuan yang tidak langsung kepada tergugat atau kuasanya. Mengenai sampai hari kedelapan sesudah peringatan adalah sampai batas akhir masa peringatan.sebagai contoh tanggal 1 Januari 2003 dijatuhkan putusan verstek,pemberitahuan disampaikan tanggal 1 Pebruari 2003,namun tidak langsung kepada tergugat atau kuasanya tetapi kepada kepala desa.Ternyata sampai tenggang waktu 14 hari dari tanggal penyampaian kepada kepala desa tergugat tidak mengajukan perlawanan,kemudian penggugat meminta kepada PN agar putusan verstek dijalankan eksekusi atas alasan putusan dianggap telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena tenggang waktu mengajukan perlawanan selama 14 hari sudah terlampaui.
Untuk memenuhi permintaan eksekusi tersebut PN mengambil tindakan menetapkan sidang insidentil pada tanggal 1 Juni 2003 dan memerintahkan juru sita memanggil tergugat agar pada tanggal 1 juni 2003 mengahadiri sidang insidentil dimaksud untuk diperingati memenuhi putusan verstek dan ternyata tergugat datang memenuhi panggilan.
Masa peringatan yang diberikan PN maksimal 8 hari dalam arti apabila dalam masa 8 hari dari tanggal peringatan yaitu 1 Juni 2003 + 8 hari putusan verstek tidak dilaksanakan tergugat dengan sukarela,terhadapnya qakan dilakukan eksekusi secara paksa oleh PN.
Dalam kasus diatas karena pemberitahuan putusan verstek tidak langsung kepadanya tetapi melalui kepala desa,sampai hari kedelapan tanggal peringatan (1 Juni 2003),maka tergugat berhak mengajukan perlawanan.
sampai hari kedelapan dijalankan eksekusi berdasarkan pasal 197 HIR .
apabila masa peringatan hari kedelapan (1 Juni 2003) telah terlampaui dan tergugat dipanggil menghadiri sidang insidentil dalam rangka peringatan tergugat untuk melaksanakan putusan secara sukarela ternyata meskipun telah dipanggil dengan patut,tergugat tetap tidak mengahdiri sidang peringatan tersebut tanpa alasan yang sah maka berdasarkan ketidakhadiran itu PN menerapkan ketentuan pasal 197 ayat(1) HIR.
KUASA DI DEPAN PENGADILAN

Dalam pasal 123 ayat(1) HIR mengatakan selain kuasa secara lisan atau khusus tertulis yang ditunjuk dalam surat gugatan,pemberian kuasa dapat diwakili oleh kuasa dengan surat kuasa khusus atau bijzondere machtiging.
Syarat dan formulasi surat kuasa khusus dalam pasal 123 ayat(1) HIR hanya menyebutkan satu syarat pokok saja yaitu kuasa berbentuk tertulis atau akta yang disebut surat kuasa khusus.
Dalan SEMA No.6 tahun1994 tanggal 14 oktober 1994 pada dasarnya SEMA ini subsantasinya sama dengan yang disyaratkan dalam SEMA No.2 tahun 1959 dan SEMA No.01 tahun 1971 yang pada pokoknya mengatur syarat surat kuasa khusus harus memuat sebagai berikut :
menyebut dengan jelas dan spesifik surat kuasa untuk berperan di pengadilan .
menyebut kompetensi relatif.
menyebut identitas dan kedudukan para pihak.
menyebut secara ringkas dan konkret pokok dan objek sengketa yang diperkarakan.
Permasalahan yang timbul dalam persidangan dapat dilihat dari beberapa putusan mengena surat kuasa khusus yang akan kami kemukan dalam putusan Mahkamah agung.
Dalam putusan MA No.1912 K/Pdt/1984 dikatakan surat kuasa khusus yang tidak menyebutkan subjek dan objek tidak sah sebagai surat kuasa khusus.
Dalam putusan MA No.354 K/Pdt/1984 dikatakan seseorang yang dberikan kuasa umum untuk melakukan pengurusan perusahaan atau koorporasi tidak berwenang memberi kuasa khusus kepada siapapun untuk tampil di pengadilan membela kepentingan perusahaan tersebut.
Dalam putusan MA No.453K/sip/1973 dikatakan bahwa dalam surat kuasa tidak disebut kewenangan kuasa meliputi pemeriksaan ditingkat banding dan kasasi,namun dari berita acara pemeriksaan sidang pertama,ternyata pemberi kuasa hadir sendiri dengan didampingi oleh kuasa hukum maka dianggap surat kuasa itu juga untuk pemeriksaan banding dan dianggap khusus.
Dalam putusan MA No.2339 K/Pdt/1985 dikatakan surat kuasa yang tidak menyebut dengan tegas kedudukan pihak yang digugat dan juga tidak menyebut dengan tegas yuridiksi PN mana yang digugat adalah sah karena pasal 123 ayat(1) HIR tidak mewajibkan penyebutan dengan tegas nama PN diwilayah hukum mana gugatan diajukan.
Dalam putusan MA No.3038 K/Pdt/1981 dikatakan keabsahan surat kuasa yang dibuat di luar negeri selain memenuhi syarat formil yang ditentukan Undang-undang harus juga dilegalisir lebih dahulu oleh KBRI setempat.
Dalam Undang-undang No.5 Tahin 2004 tentang MA ,surat kuasa untuk kasasi mesti dibuat khusus tersendiri,hal ini juga sudah didukung oleh putusan MA No.51 K/Pdt/1991 dikatakan surat kuasa yang diberikan sejak semula pemberi kuasa telah memberikan kuasa kepada seseorang untuk bertindak sejak peradilan tingkat pertama,banding dan kasasi ,surat kuasa demikian adalah tidak valid dipergunakan untuk tinggkat kasasi maka harus dibuat lagi surat kuasa khusus pada tingkat Kasasi.
Dalam hal kuasa untuk mewakili negara berdasarkan pasal 123 ayat(2) HIR dan St.1922 No.522 yang dapat bertndak sebagai kuasa mewakili negara bukan hanya kejaksaan tetapi bisa juga pengacara negara yang diangkat pemerintah dan orang atau pejabat tertentu yang diangkat dan ditunjuk oleh instansi atau lembaga yang bersangkutan.




* Makalah ini disusun oleh : ACHMAD SATIBI ,SH.MH

HUKUM ACARA PIDANA

MINGGU, 22 FEBRUARI 2009

MATERI PENDIDIKAN KHUSUS PROFESI ADVOKAT
“HUKUM ACARA PIDANA”
NY. IRDALINDA, SH.MH

SEKILAS TENTANG HUKUM ACARA PIDANA

Adalah mutlak perlu bagi Negara Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka memiliki hukum pidana yang bersifat nasional dan merupakan hasil karya daripada pembentuk undang-undang kita. Usaha ke arah pembentukan hukum acara pidana nasional bukan merupakan khayalan saja, karena tanggal 31 Desember 1981 telah ditetapkan Undang-undang No. 8 tahun 1981 LN 1981-76 yang kita kenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya kita singkat menjadi KUHAP.
Adanya usaha daripada pembentuk undang-undang kita untuk membentuk hukum acara pidana baru didasarkan kepada penghayatan dan pengamalan hukum acara pidana yang diatur di dalam Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad 1941 nomor 44) dan yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 1 Darurat tahun 1951 sudah tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional.
Oleh karena itu membentuk undang-undang tentang hukum acara pidana untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta kewajiban bagi mereka yang ada dalam proses pidana yang senantiasa harus dilandasi Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 adalah mutlak perlu. Pembangunan yang demikian itu (hukum acara pidana) bertujuan agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya serta dapat meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing.
Kemudian diadakan suatu usaha untuk menyusun RUU Hukum Acara Pidana yang dimulai pada tahun 1967 dengan dibentuknya sebuah Panitia Intern Departemen Kehakiman.
Pada tahun 1968 diadakan Seminar Hukum Nasional II di Semarang tentang hukum acara pidana dan Hak-hak Asasi Manusia, yang diselenggarakan oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional.
Pada tahun 1974 naskah Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana tersebut setelah disempurnakan, disampaikan oleh Menteri kehakiman kepada Sekretaris Kabinet. Setelah sekretaris kabinet meminta pendapat Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Departemen Hankam termasuk Polri dan Departemen Kehakiman, maka naskah Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana tersebut dibahas lagi dalam rapat koordinasi antara wakil-wakil dari instansi tersebut.
Dalam tahun 1979 diadakan pertemuan antara Menteri Kehakiman, Jaksa Agung dan Kapolri dan wakil dari Mahkamah Agung untuk membahas beberapa hal yang perlu untuk penyempurnaan Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Dengan amanat Presiden tanggal 12 September 1979 No. R.06/PU/IX/1979, maka disampaikan Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana kepada DPR RI untuk dibicarakan dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia guna mendapat persetujuannya.
Pada tanggal 9 Oktober 1979 dalam pembicaraan tingkat I, Menteri Kehakiman menyampaikan keterangan pemerintah tentang Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana dalam suatu sidang Paripurna DPR RI, dalam pembicaraan tingkat II yang dilakukan dalam sidang paripurna, fraksi-fraksi dalam DPR RI memberikan Pemandangan Umum terhadap Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana yang dilanjutkan dengan jawaban dari pemerintah. Pembicaraan tingkat III dilakukan dalam sidang komisi. Diputuskan oleh Badan Musyawarah DPR RI bahwa pembicaraan tingkat III Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana dilakukan oleh gabungan komisi III bersama komisi I DPR Republik Indonesia.
Akhirnya pada tanggal 23 September 1981, setelah penyampaian pendapat akhir oleh semua fraksi, dalam DPR RI dalam sidang paripurna maka Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana disetujui oleh DPR RI untuk disahkan menjadi undang-undang oleh Presiden. Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana tersebut kemudian oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 31 Desember 1981 telah disahkan menjadi undang-undang yaitu Undang-undang No. 8 tahun 1981.

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PIDANA
Asas-asas Hukum Acara Pidana sepenuhnya diambil dari Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 yaitu:
Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan;
Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberikan wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal serta dengan cara yang diatur oleh undang-undang;
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap;
Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kalalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi;
Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dengan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan;
Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya;
Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahukan haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum;
Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa;
Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang;
Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan.

HUKUM ACARA PIDANA
Ilmu Hukum Acara Pidana adalah mempelajari serangkaian peraturan yang diciptakan oleh Negara, dalam hal adanya dugaan dilanggarnya Undang-undang Pidana:
Negara menyidik kebenaran adanya dugaan pelanggaran;
Sedapat mungkin menyidik pelakunya;
Melakukan tindakan agar pelakunya dapat ditangkap dan kalau perlu ditahan;
Alat-alat bukti yang diperoleh dari hasil penyidikan dilimpahkan kepada Hakim dan terdakwa dihadapkan kedepan Hakim tersebut;
Setelah diserahkan kepada Hakim, Hakim dapat mengambil putusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dan Hakim dapat mengambil tindakan atau hukuman apa yang akan diambil atau dijatuhkan;
Menentukan upaya hukum guna melawan putusan tersebut;
Akhirnya, melaksanakan putusan tentang pidana atau tindakan untuk dilaksanakan.

TUJUAN HUKUM ACARA PIDANA
Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan.

ASAS-ASAS YANG MENGATUR PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KELUHURAN HARKAT DAN MARTABAT MANUSIA (UU NO.4/2004 jo UU NO.8/1981 KUHAP)
Perlakuan yang sama atas diri seseorang di muka hukum dan tidak ada perbedaan perlakuan;
Penangkapan, penahanan, penggledahan dan penyitaan dilakukan dengan perintah tertulis dari pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang hanya dalam hal dan menurut cara yang diatur Undang-undang;
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap;
Seseorang yang ditahan, ditangkap, dituntut ataupun diadili tanpa alas an yang berdasarkan Undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan. Para Penegak hukum yang dengan sengaja atau lalai menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana atau dikenakan hukuman administrasi;
Asas Peradilan yang Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan, serta Bebas, Jujur dan Tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen;
Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan dirinya;
Seorang tersangka, sejak dilakukan penangkapan atau penahanan selain diberi tahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya juga wajib diberi tahu haknya itu termasuk hak untuk meminta bantuan Penasehat hukum;
Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa;
Sidang pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang;
Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melaksanakan pengawasan terhadap putusan pengadilan dalam perkara pidana.

WEWENANG PENYELIDIK, PENYIDIK, PENUNTUT UMUM, HAKIM, LEMBAGA PEMASYARAKATAN DAN ADVOKAT DALAM SISTEM PERADILAN INDONESIA
WEWENANG PENYELIDIK (PASAL 5 KUHAP)
a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang:
Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
Mencari keterangan dan barang bukti;
Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
b. Atas perintah Penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;
Pemeriksaan dan penyitaan surat;
Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
Membawa dan menghadapkan seseorang pada Penyidik.

WEWENANG PENYIDIK (PASAL7 AYAT (1) KUHAP)
Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian;
Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
Memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
Mengadakan penghentian penyidikan;
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

WEWENANG PENUNTUT UMUM (PASAL 14 KUHAP)
Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik pembantu;
Mengadakan Prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4)dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
Memberikan perpanjangan penahanan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan penyidik;
Membuat Surat Dakwaan;
Melimpahkan perkara ke pengadilan;
Memberitahu terdakwa mengenai hari dan waktu perkara disidangkan disertai surat panggilan baik kepada terdakwa maupun saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
Melakukan penuntutan;
Menutup perkara demi kepentingan hukum;
Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai Penuntut Umum menurut ketentuan Undang-undang;
Melaksanakan penetapan Hakim.
Catatan:
Jaksa sebagai eksekutor adalah melaksanakan Putusan Pengadilan yang berkekuatan ukum tetap;
Jaksa sebagai penyidik adalah penyidik tindak pidana khusus antara lain: TIPIKOR dan Tindak Pidana HAM Berat.

TUGAS PENGADILAN (UU NO. 8/2004, UU NO. 4/2004 DAN KUHAP)
Tugas Hakim/Pengadilan, menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya.

RUTAN
Rutan adalah tempat penempatan tersangka atau terdakwa ditahan atas dasar penetapan Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim.

LEMBAGA PEMASYARAKATAN
Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat terpidana melaksanakan Putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.

ADVOKAT (PASAL 1 AYAT (1) UU NO. 18/2003 TENTANG ADVOKAT)
Advokat merupakan bagian integral (sub sistem) dalam sistem peradilan yang terintegrasi. Sebagai salah satu pilar, maka kehadirannya sangat penting dalam rangka mewujudkan peradilan yang jujur, adil, bersih menjamin kepastian hukum dan kepastian keadilan dan jaminan HAM untuk menciptakan independensi Kekuasaan Kehakiman. Keberadaan Advokat secara perseorangan maupun secara organisatoris harus mampu menjadi faktor pendorong dalam mewujudkan sistem Peradilan yang terintegrasi.

HUBUNGAN KOORDINASI FUNGSIONAL DAN INSTANSIONAL ANTARA PENYIDIK DENGAN PENUNTUT UMUM
Mulainya penyidikan dan kewajiban pemberitahuan kepada Penuntut Umum (Pasal 109 ayat (1) KUHAP);
Perpanjangan penahanan untuk kepentingan penyelesaian penyidikan (Pasal 24 ayat (2) KUHAP);
Penghentian penyidikan yang diberitahukan kepada Penuntut Umum (Pasal 109 ayat (2) KUHAP);
Penyerahan berkas perkara hasil penyidikan kepada Penuntut Umum (Pasal 110 ayat (1) KUHAP);
Penyidikan tambahan atas petunjuk Penuntut Umum dalam hal berkas dikembalikan kepada Penyidik karena kurang lengkap (Pasal 110 ayat (2) s.d ayat (4) jo Pasal 138 KUHAP).

HUBUNGAN KOORDINASI FUNGSIONAL DAN INSTANSIONAL ANTARA PENYIDIK DENGAN PENGADILAN
Perpanjangan penahanan (Pasal 29 ayat (3) KUHAP);
Penggeledahan rumah (Pasal 33 KUHAP) ;
Penyitaan (Pasal 38 KUHAP);
Pemeriksaan Surat (Pasal 47 KUHAP);
Acara pemeriksaan tindak pidana ringan (Pasal 205 KUHAP)
Acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas (Pasal 211 s.d 216 KUHAP).

HUBUNGAN KOORDINASI FUNGSIONAL DAN INSTANSIONAL ANTARA PENYIDIK DENGAN PEJABAT PNS TERTENTU
Koordinasi dan pengawasan (Pasal 7 ayat (2) KUHAP);
Pemberian petunjuk, bantuan dan laporan dimulainya penyidikan dan penghentian penyidikan serta penyerahan hasil penyidikan (Pasal 107 KUHAP).

HUBUNGAN KOORDINASI FUNGSIONAL DAN INSTANSIONAL ANTARA PENYIDIK DENGAN PENASEHAT HUKUM
Pejabat penyidik wajib menunjuk Penasehat Hukum bagi terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana 15 tahun lebih yang tidak mempunyai Penasehat hukum (Pasal 56 ayat (2) KUHAP);
Penasehat Hukum yang ditunjuk tersebut harus memberikan bantuan dengan cuma-cuma (Pasal 56 ayat (2) KUHAP);
Dalam hal Penasehat Hukum menyalahgunakan hubungan dan pembicaraan dengan tersangka (Pasal 70 KUHAP);
Pengawasan penyidik dalam hal Penasehat Hukum berhubungan dengn tersangka dan mendampingi tersangka yang diperiksa oleh penyidik (Pasal 71 dan Pasal 115 KUHAP).

HUBUNGAN KOORDINASI FUNGSIONAL DAN INSTANSIONAL ANTARA PENUNTUT UMUM DENGAN PENGADILAN
Perpanjagan penahanan (Psl 25 ayat (2) dan Psl 29 ayat (3) KUHAP);
Melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri (Psl 143 KUHAP);
Menghadiri siding Pengadilan (BAB XVI KUHAP);
Mengajukan tuntutan pidana.

HUBUNGAN KOORDINASI FUNGSIONAL DAN INSTANSIONAL ANTARA JAKSA, LEMBAGA PEMASYARAKATAN DAN PENGADILAN
Jaksa sebagai eksekutor melaksanakan putusan Pengadilan (Psl 277 dan Psl 278 KUHAP);
Hakim melakukan pengawasan dan pengamatan atas pelaksanaan putusan di Lembaga Pemasyarakatan (BAB XX KUHAP).

HUBUNGAN KOORDINASI FUNGSIONAL DAN INSTANSIONAL ANTARA PENASEHAT HUKUM DENGAN PENGADILAN
Pejabat Pengadilan wajib menunjuk Penasehat Hukum bagi terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana 15 tahun lebih yang tidak mempunyai Penasehat hukum (Pasal 56 ayat (2) KUHAP);
Penasehat Hukum yang ditunjuk tersebut harus memberikan bantuan dengan cuma-cuma (Pasal 56 ayat (2) KUHAP);

BERIKUT AKAN DIURAIKAN BEBERAPA PENGERTIAN, YAITU MENGENAI:
Perkara dihentikan penuntutannya demi kepentingan hukum dikarenakan, antara lain: tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana (Psl 14 huruf h jo Psl 140 ayat (2) huruf a KUHP);
Perkara ditutup demi hukum (Psl 14 huruf h jo Psl 140 ayat (2) huruf a KUHP) dikarenakan tersangka meninggal dunia dan perkaranya tergolong “Ne bis in idem/kadaluarsa (Psl 76 s.d Psl 78 KUHP);
Perwujudan asas oportunitas: penyampingan perkara untuk kepentingan umum. Jaksa Agung selaku Penuntut Umum tertinggi berdasarkan keadaan-keadaan yang nyata untuk tidak menuntut suatu perkara dimuka persidangan pengadilan pidana agar kepentingan umum tidak lebih dirugikan (Penjelasan Psl 77 KUHAP jo Psl 8 UU No. 15/1961 jo Psl 35 huruf c UU No. 16/2004 Tentang Kejaksaan RI).

HAL-HAL MENGENAI PENAHANAN
Landasan Dasarnya ditentukan dalam Psl 21 ayat (4) KUHAP (penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana):
Yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih;
Terhadap pelaku tindak pidana tertentu meskipun ancama pidananya kurang dari 5 tahun, yaitu tindak pidana:
Terdapat dalam Psl 282 ayat (3) (Kesusilaan), Psl 296 (Pencabulan), Psl 335 ayat (1) (perbuatan tidak menyenangkan), Psl 353 ayat (1) (Penganiayaan), Psl 372 (Penggelapan), Psl 378 (Penipuan), Psl 379 huruf a, Psl 453, Psl 454, Psl 455, Psl 459, Psl 480 (Penadahan) dan Psl 506 (Germo).
Pasal-pasal yang terdapat dari Undang-Undang Tindak Pidana Khusus:
Psl 25 dan Psl 26 Rechten Ordonantie (Pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan ST Tahun 1931 No. 471);
Psl 1, Psl 2, Psl 4 UU Tindak Pidana Imigrasi (UU No. 8 DRT Tahun 1855 L.N Tahun 1855 No. 8);
Psl 36 ayat (7), Psl 51, Psl 42, Psl 43, Psl 47 dan Psl 48 UU No. 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika (L.N Tahun 1976 No. 37, L.N No. 3086).

PENAHAN DILAKUKAN KARENA ADANYA KEADAAN YANG MENIMBULKAN KEKHAWATIRAN (PSL 21 AYAT (1) KUHAP:
Tersangka atau terdakwa akan melarikan diri;
Merusak atau menghilangkan barang bukti;
Dikhawatirkan akan mengulangi tindak pidana.

SYARAT YANG HARUS DIPENUHI UNTUK MELAKUKAN PENAHANAN BERDASARKAN PSL 21 AYAT (1) KUHAP:
Tersangka atau terdakwa diduga keras sebagai pelaku tindak pidana yang bersangkutan;
Dugaan keras tersebut didasarkan pada bukti yang cukup (adanya keterangan-keterangan yang cukup menunjukan bahwa tersangka “bersalah” (Psl 62ayat (1) dan Psl 75 HIR)).

PENGURANGAN MASA PENAHANAN
Masa penahanan harus dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan.

RUMUSAN AMAR YANG PERLU DIPERHATIKAN:
A. Apabila Terdakwa Terbukti Bersalah:
Menyatakan Terdakwa … tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana …
Menghukum oleh karena itu Terdakwa dengan pidana penjara/kurungan selama … dan pidana denda sebesar Rp. … dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama …
Menetapkan masa penahanan yang telah dijalanai terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan
Memerintahkan agar terdakwa ditahan
Menetapkan barang bukti berupa … dst
Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar …
B. Rumusan Rehabilitasi dengan redaksional
“Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya”
C. Rumusan tuntutan gugur karena terdakwa meninggal dunia
“Menyatakan kewenangan Penuntut Umum untuk gugur dan membebankan biaya perkara kepada Negara”
D. Dalam hal terdakwa tidak dapat dihadirkan disidang
“Menyatakan tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima”

ALAT BUKTI YANG SAH (PSL 184 KUHAP):
Keterangan saksi;
Keterangan ahli;
Surat;
Petunjuk;
Keterangan terdakwa.

UPAYA HUKUM
Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan PK dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam UU ini (Psl 1 ayat (12).
Upaya hukum ada 2 (dua):
1. Biasa (diajukan terhadap putusan yang belum berkekuatan hukum tetap. Bab XVI bagian ketiga dan Bab XVII):
Perlawanan (Psl 214 ayat (4), Psl 156 ayat (3), (4), (5), Psl 29 ayat (2), Psl 154 ayat (1) jo Psl 149 KUHAP);
Banding (Psl 67, Psl 233 s/d Psl 243 KUHAP);
Kasasi (Psl 244 s/d Psl 258 KUHAP).
2. Luar biasa (diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Bab XVIII):
Kasasi demi kasasi demi kepentingan hokum (Psl 259 s/d Psl 262 KUHAP)
Peninjauan Kembali (Psl 263 s/d 269 KUHAP).

EKSEPSI (PSL 156 AYAT (1) KUHAP)
Eksepsi adalah tangkisan/pembelaan yang tidak mengenai atau tidak ditujukan terhadap Materi Pokok surat dakwaan tetapi ditujukan terhadap cacat formil yang melekat pada surat dakwaan.

ALASAN EKSEPSI/KEBERATAN (PSL 156 AYAT (1) KUHAP)
Pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya;
Dakwaan tidak dapat diterima;
Eksepsi subjudice;
Eksepsi in personam;
Eksepsi keliru sistematika, dakwaan subsidairitas;
Keliru bentuk dakwaan yang diajukan.
Dakwaan harus dibatalkan (batal demi hukum Psl 143 ayat (2) KUHAP)
Tidak memuat tanggal dan tanda tangan;
Tidak secara lengkap menyebut identitas terdakwa;
Tidak menyebut locus delicti dan tempus delicti
Tidak cermat, jelas, lengkap uraian tentang tindak pidana yang didakwakan.

PRINSIP PENGAJUAN EKSEPSI
Prinsip pengajuan keberatan yang menyangkut pembelaan atas alasan formil (Psl 156 ayat (1):
Harus diajukan pada sidang pertama setelah Penuntut umum membacakan surat dakwaan.
Bila pengajuan dilakukan diluar tenggang yang disebutkan, eksepsi tidak perlu ditanggapi kecuali eksepsi mengenai kewenangan mengadili (Psl 156 ayat (7) KUHAP).

EKSEPSI KEWENANGAN ATAU HAK UNTUK MENUNTUT HAPUS ATAU GUGUR KARENA:
Exception judicate atau nebis in idem (tidak dapat dituntut 2 (dua) kali atas kasus yang sama (Psl 76 KUHP));
Exception in tempores (daluarsa (Psl 78 KUHP));
Terdakwa meninggal dunia (Psl 77 KUHP).

EKSEPSI TUNTUTAN PENUNTUT UMUM TIDAK DAPAT DITERIMA KARENA :
Penyidikan tidak memenuhi ketentuan Psl 56 ayat (1) KUHAP (terdakwa/tersangka yang diancam pidana 5 th/lebih atau hukuman mati dan tidak mampu, wajib didampingi Penasehat Hukum secara cuma-cuma);
Tidak memenuhi syarat delik aduan.

EKSEPSI LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM KARENA :
Jika perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi perbuatan itu bukan tindak pidana.

HUKUM PEMBUKTIAN SEBAGAI INSTRUMEN DOMINAN DALAM PEMERIKSAAN PERKARA
Hukum pembuktian, ketentuan ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh UU untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Mengatur alat bukti yang dibenarkan UU dan yang boleh dipergunakan hakim dalam membuktikan perbuatan yang didakwakan.

SISTEM PEMBUKTIAN
Bertujuan untuk mengetahui bgmn cara meletakkan suatu hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa.
Hasil & kekuatan pembuktian yang bgmn yang dpt dianggap cukup proporsional guna membuktikan kesalahan terdakwa.
Apakah kelengkapan pembuktian dengan alat 2 (dua) bukti masih diperlukan keyakinan hakim?

TEORI SISTIM PEMBUKTIAN
Conviction in time, sistim ini menentukan salah/tidaknya terdakwa ditentukan oleh penilaian “keyakinan hakim” tidak menjadi soal dari mana / atas dasar apa hakim menarik & menyimpulkan keterbuktian terdakwa.
Conviction Raisone, sistem ini “keyakinan hakim” tetap mengandung peranan penting didlm menentukan salah/tdknya terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim “dibatasi “ karena harus didasari dengan alasan 2 yang jelas.


PEMBUKTIAN MENURUT UU SECARA POSITIF.
Dlm sistem ini, keyakinan hakim tdk ikut berperan karena berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat bukti sah yang ditentukan oleh UU;
Sistem pembuktian menurut UU secara negatif, adalah merupakan gabungan sistem pembuktian keyakinan dng pembuktian menurut UU secara positif salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara & penilaian alat-alat bukti yang syah menurut UU;
Pembuktian menurut UU secara positif. Dalam sistem ini, keyakinan hakim tidak ikut berperan karena berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat bukti syah yang ditentukan oleh UU;
Sistem pembuktian menurut UU secara negatif, adalah merupakan gabungan sistem pembuktian keyakinan dengan pembuktian menurut UU secara positif salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara & penilaian alat-alat bukti yang syah menurut UU.

ALAT-ALAT BUKTI MENURUT UU
Pasal:184 (1) KUHAP, telah mengatur secara “rinci & limitatif “ alat bukti yang syah menurut UU, yaitu:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk dan
e. keterangan terdakwa.

CARA MENILAI KEBENARAN KETERANGAN SAKSI
Sesuai dng pasal 185(6) KUHAP, dalam menilai kebenaran keterangan saksi, hakim harus sungguh sungguh memperhatikan:
Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan lainnya.
Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lainnya.
Alasan saksi dalam memberikan keterangan tertentu, cara hidup dan kesusilaan saksi.

KETERANGAN SAKSI AHLI
Pasal.1 butir 28 KUHAP, memberikan pengertian tentang apa yang disebut keterangan ahli, yang intinya:
Keterangan ahli, ialah keterangan yang diberikan seorang ahli “memiliki kwalifikasi keahlian khusus” tentang masalah yang diperlukan penjelasannya dalam perkara pidana yang sedang diperiksa.
Maksud ketentuan khusus dari ahli, agar perkara pidana yang sedang diperiksa menjadi terang, demi untuk penyelesaian pemeriksaan perkara yang bersangkutan.

ALAT BUKTI SURAT
Pasal:187, bukti surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut UU, adalah: surat yang dibuat atas sumpah jabatan, atau surat yang dikuatkan dengan sumpah, yang didalam praktek kemudian dapat dibedakan:
berita acara & surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya.
surat yang berbentuk menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dlm tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya.
Surat keterangan dari ahli yang memuat pendapat berdasar atas keahliannya tentang sesuatu hal yang secara resmi dimintakan kepadanya.
Surat lain yang hanya berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

KETERANGAN TERDAKWA
Keterangan terdakwa sebagai alat bukti, yaitu:
Apa yang terdakwa nyatakan/jelaskan disidang pengadilan.
Apa yang dinyatakan/dijelaskan itu ialah tentang perbuatan yang terdakwa lakukan atau mengenai yang ia ketahui atau yang berhubungan dengan apa yang terdakwa alami sendiri dalam peristiwa pidana yang sedang diperiksa.

TERBUKTI SYAH & MEYAKINKAN
Definisi terbukti secara syah dan meyakinkan
Tujuan utama adalah mencari & mewujudkan kebenaran yang sejati (ultimate truth atau absolute truth)
Pengertian yang terungkap, ditinjau dari segi praktek peradilan, yaitu jangan sampai menghukum orang yang tidak bersalah dan jangan membebaskan orang yang bersalah.

BENTUK-BENTUK PUTUSAN
Putusan bebas, terdakwa dijatuhi putusan bebas dari tuntutan hukum (vrij spraak)” acquitaal (pasal. 191. ayat.1 KUHAP), karena tidak memenuhi asas pembuktian menurut UU secara negatif atau karena tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian (karena harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang syah);
Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum. Pasal.191 ayat.2 KUHAP, jika Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi bukan merupakan perbuatan pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (yang dulu dikenal dengan ”onslaag van alle rechts vervolging”);
Putusan pemidanaan (pasal.193 KUHAP), yang artinya terdakwa dipidana sesuai dgn ancaman pidana yang ditentukan didalam pasal dari UU yang didakwakan . Putusan pemidanaan kendatipun penentuan berat ringannya pidana wewenang hakim akan tetapi pidana tersebut harus rasional dan proporsional, sesuai dengan tujuan pemidanaan dari itu kewenangan diskresi hakim tsb hanya boleh bergerak dalam batas minimum & maksimum.
Putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima, yang mendasarkan pada ketentuan pasal: 156 (1) KUHAP, misalnya karena adanya eksepsi, dakwaan nebis in idem, atau perbuatan yang didakwakan bukan merupakan tindak pidana kejahatan/pelanggaran atau Jaksa/PU tidak berhasil menghadapkan terdakwa, atau perbuatan yang didakwakan telah kadaluwarsa.
Putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum, yang mendasarkan pada pasal: 143(3) yo. pasal. 156 (1) KUHAP, pengadilan Negeri dapat menjatuhkan putusan dakwaan batal demi hukum. Hal hal yang perlu dimuat didalam putusan supaya diperhatikan pasal: 197 KUHAP.