Minggu, 29 Maret 2009

HUKUM ACARA PERDATA

HUKUM ACARA PERDATA*

PENGERTIAN HUKUM ACARA PERDATA.

Hukum materiil dapat berupa hukum yang tertulis terjelma dalam undang-undang atau hukum yang tidak tertulis semuanya merupakan pedoman bagi setiap warga tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat dalam masyarakat.

Untuk melaksanakan hukum materiil perdata terutama dalam hal ada pelanggaran ataupun untuk mempertahankan berlangsungnya hukum materiil perdata dalam hal ada tuntutan hak maka diperlukan rangkaian peraturan-peraturan hukum lain disamping hukum materiil perdata itu sendiri,peraturan hukum inilah yang disebut hukum formil atau hukum acara perdata.

Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim, dengan kata lain hukum acara perdata adalah pelaksanaan hukum acara perdata.

Bahwa dengan kata lain hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana cara mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari putusan tersebut.

Tuntutan hak atau tuntutan untuk memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah eigenrichting ada dua macam yaitu tuntutan hak yang mengandung sengketa yang disebut gugatan dimana terdapat sekurang-kurangnya dua pihak dan tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa yang disebut permohonan,dimana hanya terdapat satu pihak saja, lajimnya peradilan ini menjadi peradilan sukarela (Voluntaire jurisdictie) sedangkan tuntutah hak yang mengandung sengketa disebut sebagai peradilan contentieus (contentieus jurisdictie).

Bahwa dari rangkaian uraian di atas ilmu pengetahuan hukum acara perdata adalah keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil dengan perantaraan kekuasaan negara perantaraan negara dalam mempertahankan hukum perdata itu terjadi dengan lembaga peradilan.

Hukum acara perdata meliputi 3 (tiga) tahap tindakan,yaitu: tahap pendahuluan, tahap penentuan dan tahap pelaksanaan. Tahap pendahuluan merupakan persiapan menuju kepada penentuan atau pelaksanaan.Dalam tahap penentuan diadakan pemeriksaan peristiwa dan pembuktian sekaligus sampai pada putusannya.Sedangkan tahap pelaksanaan diadakan pelaksanaan dari putusan tersebut.

SUMBER HUKUM ACARA PERDATA

Berdasarkan pasal 5 ayat 1 UUDar 1/1951, maka hukum acara perdata pada Pengadilan Negeri dilakukan dengan memperhatikan ketentuan UUDar tersebut menurut peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku untuk Pengadilan Negeri dalam daerah republik Indonesia dahulu. Yang dimaksud UUDar.1/1951 tersebut tidak lain adalah Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui: S.1848 No.16.S.1941 No.44) untuk daerah jawa dan Madura, dan Rechtsreglement Buitengwesten (Rbg atau Reglemen daerah seberang: S.1927 No.227) untuk luar jawa dan Madura.

Sedangkan Reglemen Op de Burgerlijke rechtsvordering (Rv atau reglemen hukum acara perdata untuk golongan eropa: S.1847 No.52,S.1849 No.63) merupakan sumber hukum acara perdata juga dan menurut Supomo dengan dihapusnya Raad Van Justitie dan Hooggerrechtshof maka Rv sudah dinyatakan tidak berlaku lagi sehingga dengan demikian hanya HIR dan RBg sajalah yang berlaku dalam hukum acara perdata di Peradilan Indonesia.

Sumber hukum perdata lainnya yang mengatur tentang hukum acara perdata adalah Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Mahkamah Agung RI yaitu Undang-undang No 4 Tahun 2004 yang didalam juga mengatur tentang acara beracara diPengadilan.

Disamping itu tidak kalah pentingnya sumber hukum acara perdata adalah Yurisprudensi, perjanjian Internasional dan juga Doktrin. Yurisprudensi merupakan sumber pula dari hukum acara perdata antara lain disebutkan dalam putusan MA tanggal 14 April 1971 No.99K/Sip/1971 yang menyeragamkan hukum acara perceraian bagi mereka yang tunduk pada BW.

Tidak kalah pentingnya bahwa Surat edaran juga merupakan sumber hukum acara perdata hal mana surat edara tidaklah mengikat hakim sebagaimana Undang-undang akan tetapi intruksi dan surat edaran merupakan sumber tempat hakim dapat menggali hukum acara perdata maupun hukum perdata materiil.

AZAS-AZAS HUKUM ACARA PERDATA

Hakim bersifat menunggu.
Hakim Pasif.
Sipat terbukanya persidangan
Mendengar kedua belah pihak
Putusan harus disertai alasan-alasan
Beracara dikenakan biaya
Tidak ada keharusan mewakili
Susunan persidangan Majelis
Azas sederhana, cepat dan biaya ringan
Hak menguji tidak dikenal

BAGAIMANA CARA MENGAJUKAN TUNTUTAN HAK ATAU GUGATAN KE PENGADILAN

Tuntutan hak atau gugatan adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah eigenrichting atau main hakim sendiri orang yang mengajukan tuntutan hak yang dipengadilan disebut mengajukan gugatan memerlukan atau berkepentingan akan memperoleh perlindungan hukum dan untuk mengajukan tuntutan hak disyaratkan adanya kepentingan untuk mengajukan tuntutan hak, seseorang yang tidak menderita kerugian mengajukan tuntutan hak tidak mempunyai kepentingan sudah wajar tuntutannya tidak diterima oleh Pengadilan. Akan tetapi tidak semua setiap kepentingan dapat diterima sebagai dasar pengajuan tuntutan hak. Jadi tuntutan hak harus mempunyai kepentingan hukum yang dapat diterima dan syarat utama diterimanya tuntutan hak oleh Pengadilan guna diperiksa adalah Point d’interet, point d’action ini tidak berarti bahwa tuntutan hak yang ada kepentingan hukumnya pasti dikabulkan. Hal ini masih tergantung pada pembuktian.
Tuntutan hak yang didalam pasal 118 ayat (1) HIR(pasal 142 RBg) disebut juga sebagai tuntutan perdata (Burgerlijke vordering) dan tidak lain adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan Lazim disebut gugatan. Gugatan dapat diajukan baik secara tertulis maupun lisan.
Bagaimanakan cara mengajukan gugatan. HIR atau RBg sendiri tidak mengatur tentang tatacara mengajukan gugatan, sedangkan persyaratan isi dari pada gugatan tidak ada ketentuannya
Persyaratan isi gugatan dapat kita jumpai dalam pasal 8 No.3 Rv yang mengharuskan gugatan pokoknya memuat: 1. Identitas dari para pihak, 2. Dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari pada tuntutan atau lebih dikenal dengan Fundamentum petendi dan 3. Tuntutan atau petitum.

A . BENTUK GUGATAN

Bentuk gugatan perdata yang dibenarkan Undang-undang dan Praktik dapat berupa gugatan Lisan dan gugat berbentuk tertulis.

1. Berbentuk Lisan.

Bentuk gugatan lisan diatur dalam pasal 120 HIR (pasal 144 RBG)yang menegaskan: Bilamana Penggugat buta hurup maka surat gugatannya dapat dimasukan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan itu atau menyuruh mencatatnya.

Syarat gugatan lisan sebagaiman dalam pasal 120 HIR hanya mengatur buta aksara, tidak mengatur orang yang buta hukum atau kurang memahami hukum tata cara pengajuan gugatan lisan yaitu diajukan gugatan dengan lisan kepada Ketua PN dan menjelaskan atau menerangkan isi dan maksud gugatan dan ketua PN wajib melayani dengan mencatat gugatan yang disampaikan Penggugat, merumuskan sebaik mungkin gugatan itu dalam bentuk tertulis yang diterangkan Penggugat.

2. Bentuk Tertulis
Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalam bentuk tertulis. Hal ini ditegaskan dalam pasal 118 ayat (1) HIR (pasal 142 RBg), menurut pasal ini gugatan perdata harus dimasukan kepada Pengadilan Negeri (PN) dengan surat permintaan yang ditanda tangani oleh Penggugat atau kuasanya. Dalam gugatan perdata yang berhak dan membuat dan mengajukan gugatan perdata adalah sebagai berikut:

Penggugat sendiri.
Kuasanya, sebagaimana dalam pasal 118 ayat (1) HIR dapat memberikan hak dan kewenangan kepada kuasa atau wakilnya untuk membuat, menandatangani atau menyampaikan surat gugatan kepada PN, ketentuan ini sejalan dengan pasal 123 HIR ayat (1) yang menyatakan baik Penggugat dan Tergugat (kedua belah pihak) dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa yang dikuasakan untuk melakukan tindakan didepan Pengadilan dan kuasa itu diberikan dengan Surat Kuasa Khusus (Spesial power attorney) supaya pembuatan dan penandatangan serta pengajuan surat gugatan yang dilakukan kuasa sah dan tidak cacat hukum harus ditempuh prosedur sebagai berikut sebelum membuat dan menandatangani surat gugatan, kuasa yang bertindak mewakili Penggugat harus lebih dahulu diberi surat kuasa khusus dan berdasarkan kuasa Khusus kuasa bertindak membuat, menandatangani dan mengajukan surat gugatan atas nama Penggugat atau pemberi kuasa.
Fomulasi gugatan.

Dalam pasal 118 dan 120 HIR tidak dijelaskan bagaimana syarat formil suatu surat gugatan akan tetapi sesuai dengan perkembangan praktik ada kecenderungan yang menuntut formulasi gugatan yang jelas Fundamentum petendi (posita) dan petitum sesuai dengan sistem Dagvaarding, yang harus dirumuskan dalam gugatan adalah sebagai berikut:

1. Ditujukan (dialamatkan) kepada PN sesuai dengan Kompetensi relatip.
Apabila surat gugatan salah alamat atau tidak sesuai dengan kompetensi relatif mengakibatkan gugatan mengandung cacat formil,karena gugatan disampaikan dan dialamatkan kepada PN yang berada diluar wilayah hukum yang berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya.

2. Gugatan diberi tanggal.
Ketentuan undang-undang tidak menyebutkan surat gugatan hrus mencantumkan tanggal, begitu juga gugatan dikaitkan dengan akta sebagai alat bukti pasal 1874 KUHPerdata tidak menyebutkan pencantuman tanggal didalamnya bila dikaitkan dengan pasal 118 ayat (1) HIR pada dasarnya tidak mencantum tanggal dalam gugatan tidak membuat gugatan cacat formil.

3. Ditandatangani Penggugat atau kuasanya.
Mengenai tanda tangan dengan tegas disebut sebagai syarat formil gugatan, pasal 118 ayat (1) KUHPerdata menyatakan gugatan perdata harus dimasukkan ke PN sesuai dengan Kompetensi relatif dan dibuat dalam bentuk surat permohonan yang ditandatangani oleh Penggugat atau oleh wakilnya (kuasanya), tanda tangan dapat ditulis dengan tangan sendiri, cap jempol yang disamakan dengan tanda tangan berdasarkan STB.1919-776.

4. Identitas para pihak.
Penyebutan identitas dalam surat gugatan merupakan syarat formil keabsahan gugatan. Surat gugatan yang tidak menyebutkan identitas para pihak, apalagi tidak menyebut identitas tergugat menyebabkan gugatan tidak sah dan dianggap tidak ada, penyebutan identitas para pihak berguna untuk penyampaian panggilan atau penyampaian pemberitahuan yang meliputi nama lengkap, alamat tempat tinggal dan penybutan identias lain adalah tidak imperatif.

5. Fundamentum petendi.
Fundamentum petendi berarti dasar gugatan atau dasar tuntutan (Grondslag van de lis) dalam praktek ada beberapa istilah yang akrab digunakan yaitu positum atau bentuk jamaknya posita dan dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah dalil gugatan.
a. Unsur Fundamentum petendi.
1). Dasar hukum.
Memuat penegasan atau penjelasan mengenai hubungan hukum antara Penggugat dengan materi dan atau objek yang disengketakan dan antara Penggugat dengan Tergugat berkaitan dengan materi atau objek sengketa.
2). Dasar fakta.
Memuat penjelasan pernyataan mengenai fakta atau peristiwa yang berkaitan langsung dengan materi atau objek perkara maupun dengan piah tergugat.
b. Dalil gugat yang dianggap tidak mempunyai dasar hukum.
1) Pembebasan pemidanaan atas laporan tergugat,tidak dapat dijadikan dasar hukum menuntut ganti rugi.
2). Dalil gugatan berkenaan dengan perjanjian tidak halal.
3). Dalil gugatan ganti rugi atas perbuatan melawan hukum mengenai kesalahan hakim dalam melaksanakan fungsi peradilan.
4). Dalil gugatan yang tidak berdasarkan sengketa, dianggap tidak mempunyai dasar hukum.
5). Tuntutan ganti rugi atas sesuatu hasil yang tidak dirinci berdasarkan,dianggap gugatan tidak mempunyai dasar hukum.
6). Dalil gugatan yang mengandung saling pertentangan, dimana antara dalil yang satu bertentangan dengan dalil yang lain.
7). Hak objek gugatan tidak jelas.

6. Petitum gugatan.
Syarat formulasi gugatan yang lain adalah petitum gugatan supaya gugatan sah dalam arti tidak mengandung cacat formil harus mencantumkan petitum gugatan yang berisi pokok tuntutan Penggugat yang berisi pokok tuntutan penggugat berupa deskripsi yang jelas menyebutkan satu persatu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan penggugat yang harus dinyatakan dan dibebankan kepada tergugat dengan kata lain petitum gugat berisi tuntutan atau permintaan kepada Pengadilan untuk dinyatakan dan ditetapkan sebagai hak Penggugat atau hukuman kepada tergugat atau kepada kedua belah pihak.

PEMERIKSAAN PERKARA GUGATAN DIPERSIDANGAN.

Pemeriksaan gugat perdata atau gugat Contentiosa jauh berbeda dengan pemeriksaan gugatan permohonan, kalau gugatan permohonan bersifat ex-parte yang artinya proses persidangan hanya sepihak yaitu hanya pemohon saja.
Proses pemeriksaan persidangan diawali setelah Penggugat memasukkan gugatannya dalam daftar Kepaniteraan PN dan membayar biaya perkara selanjutnya tinggal menunggu pemberitahuan hari sidang.
Kemudian setelah gugatan didaftarkan untuk selanjutnya Ketua PN menunjuk Hakim Majelis untuk menyidangkan perkara tersebut maka Hakim Ketua Majelis yang ditunjuk dengan surat penetapan menentukan hari sidang dan sekaligus memerintahkan kepada kedua belah pihak agar menghadap di PN pada hari sidang yang ditetapkan dengan membawa saksi-saksi dan bukti-bukti yang diperlukan (pasal 121 ayat (1) HIR.
Pemanggilan dilakukan oleh jurusita yang menyerahkan surat panggilan beserta salinan surat gugat itu kepada tergugat pribadi ditempat tinggalnya. Apabila tergugat tidak dapat ditemukakan rumahnya, maka surat panggilan itu diserahkan kepada kepala desa yang bersangkutan untuk diteruskan (pasal 390 ayat (1) HIR, 718 ayat (1) Rbg), kalau tergugat sudah meninggal maka surat pangilan itu disampaikan kepada kepala desa tempat tinggal terakhir dari tergugat yang meninggal tesebut, apabila tidak diketahui tempat tinggal tergugat, surat panggilan diserahkan kepada Bupati dan selanjutnya surat panggilan tersebut ditempatkan pada papan penguman di PN (pasal 126 HIR/150 Rbg) memberi kemungkinan untuk memanggil sekali lagi tergugat sebelum perkara diputus oleh Hakim, sebab dalam perkara perdata bukan hanya kepentingan penggugat saja yang harus diperhatikan, melainkan kepentingan tergugatpun harus pula diperhatikan (azas audi et alteram partem).

Apabila pada hari sidang pertama kedua pihak yang berperkara hadir dipersidangan maka ketua Majelis berusaha agar kepada kedua belah pihak yang berperkara dapat menyelesaikan perkaranya melalui perdamaian (mediasi sesuai dengan pasal 130 HIR/154 Rbg), akan tetapi setelah keluarnya Perma No.1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memberikan perintah kepada Hakim agar setiap perkara gugatan diadakan mediasi dengan menunjuk mediator dari Pengadilan atau Mediatior yang bersertifikat dengan diberikan jangka waktu selama 40 hari, apabila sebelum atau setelah 40 hari lewat jika kedua pihak tidak ada tercapai upaya mediasi maka perkara dilanjutkan dalam persidangan dan majelis hakim memerintahkan kepada kedua belah pihak untuk hadir pada hari sidang yang ditentukan untuk mendengar pembacaan gugatan dan memberikan kepada tergugat untuk memberikan jawab-menjawab setelah jawab-menjawab selesai kedua belah pihak diberikan kesempatan untuk membuktikan gugatannya dengan mengajukan bukti-bukti dan saksi-saksi dipersidangan. Dalam sistem pemeriksaan secara contradictoir digariskan dalam pasal 125 dan pasal 127 HIR proses pemeriksaan adalah sebagai berikut:

Di hadiri kedua belah pihak.
Prinsip umum yang diegakkan sesuai dengan asas due process of law yaitu para pihak dipanggil secara resmi dan patut oleh jurusita untuk menghadiri persidangan, namun ketentuan ini dapat dikesampingkan berdasarkan pasal 125 dan 127 HIR yang memberi kewenangan kepada hakim melakukan pemeriksaan secara verstek apabila tergugat tidak menghadiri sidang tanpa alasan yang sah, juga pemeriksaan tanpa bantahan apabila pada sidang berikut tergugat tidak hadir tanpa alasan yang sah.

Proses pemeriksaan berlangsung secara Op tegenspraak.
Sistem inilah yang dimaksud dengan proses contradictoir yang memberi hak dan kesempatan kepada tergugat untuk membatah dalil Penggugat, sebaliknya Penggugat juga berhak untuk melawan bantahan tergugat, proses pemeriksaan yang berlangsung dengan sanggah-menyanggah baik dalam bentuk replik-duplik maupun dalam bentuk konklusi inilah disebut kontradiktoir.

Pengguguran gugatan.
Mengenai pengguguran gugatan diatur dalam pasal 124 HIR dimana syarat pengguguran supaya sah bahwa penggugat telah dipanggil secara patut dan penggugat tidak hadir tanpa alasan yang sah.

Pengguguran dilakukan oleh hakim secara ex-officio dimana pasal 124 HIR memberi kewenangan kepada hakim untuk menggugurkan gugatan apabila telah terpenuhi kedua alasan tersebut diatas, yang apabila penggugat tidak mematuhi tata tertib beracara hal ini merupakan hukuman bagi penggugat dan membebaskan tergugat dari kesewenangan, pengguguran dilakukan pada sidang pertama dimana apabila pada sidang pertama penggugat telah dipanggil secara patut tetapi tidak hadir maka pada sidang kedua perkara tersebut digugurkan dengan ketentuan pada sidang kedua penggugat juga tidak hadir, pengguguran gugatan tidak bersifat imperatif tetapi bersipat fakultatif dan putusan pengguguran tidak bersipat ne bis in idem.



Pencabutan gugatan.
Pencabutan gugatan gugatan harus berpedoman kepada pasal 271-272 Rv dimana pencabutan gugatan merupakan kebutuhan praktik dan hal ini tidak diatur dalam HIR dan pencabutan merupakan hak penggugat.

Pencabutan mutlak hak pengugat selama pemeriksaan belum berlangsung, jika pemeriksaan telah berlangsung maka pencabutan gugatan harus mendapat persetujuan tergugat.

Perubahan gugatan
Perubahan gugatan juga tidak diatur dalam HIR, akan tetapi perubahan gugatan merupakan hak penggugat, perubahan diajukan bukan dimohonkan,j adi dapat saja hakim tidak berkenan untuk mengabulkan perubahan gugatan, syarat perubahan gugatan sebagaimana diatur dalam pasal 127 RV tidak menyebut syarat formil mengajukan gugatan tetapi MA dalam buku pedoman menegaskan perubahan gugatan diajukan pada hari sidang pertama dan diahdiri oleh tergugat dan tidak dibenarkan perubahan dilakukan diluar sidang juga pada jam sidang yang tidak dihadiri oleh tergugat, hal ini juga memberikan hak kepada tergugat untuk menanggapi perubahan gugatan tersebut.

Penggabungan gugatan.
Meskipun HIR dan Rv tidak mengatur penggabungan gugatan, dalam praktik peradilan sudah lama menerapkannya Supomo menunjukan salah satu putusan Raad van Justitie Jakarta tanggal 20 Juni 1939 yang memperbolehkan penggabungan gugatan asal antara gugatan-gugatan itu terdapat hubungan erat (innerlijke samenhang) pendapat ini sejalan dengan putusan MA No.575/K/Pdt/1983.

Penggabungan gugatan bermaksud untuk mewujudkan peradilan sederhana, menghindari putusan yang saling bertentangan.

PEMBUKTIAN DALAM PERKARA PERDATA

Hukum pembuktian merupakan hukum yang komplek karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekontruksikan kejadian atau peristiwa masa lalu sebagai suatu kebenaran, meskipun kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan.

A. Prinsip umum Pembuktian.
Prinsip umum pembuktian adalah landasan penerapan pembuktian, semua pihak termasuk hakim harus berpegang pada patokan yang digariskan prinsip dimaksud. Sistem umum pembuktian secara umum adalah pembuktian mencari dan mewujudkan kebenaran formil dimana harus dibutkikan berdasarkan alat bukti yang mencapai minimal pembuktian yakni sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang memenuhi syarat formil dan materiil juga harus didukung oleh keyakinan Hakim.

Dalam hukum perdata, tugas dan peran hakim bersifat pasif tetapi dalam penegasannya MA dalam putusan No.288 K/sip/1973 berdasarkan yurispudensi sistem hukum pembuktian dalam acara perdata khususnya tentang pengakuan, hakim berwenang menilai suatu pengakuan sebagai alat bukti yang tidak mutlak apabila pengakuan itu tidak benar, dengan adanya pengakuan dari salah satu pihak artinya membenarkan pihak yang lain maka pemeriksaan perkara dapat di akhiri.

B. Beban pembuktian.
Dalam sistem pembuktian perkara perdata beban pembuktian merupakan salah satu bagian yang sangat penting, untuk menentukan kepada pihak mana beban pembuktian harus dipikulkan, untuk dapat memberikan beban pembuktian yang proporsional maka diperlukan prinsip beban pembuktian yang bersikap tidak berat sebelah sebagaiman didasarkan pada pasal 163 HIR yang menyatakan barang siapa mendalilkan suatu hak atau tentang adanya suatu fakta untuk menegakkan hak maupun untuk menyangkal hak orang lain harus membuktikan hak tersebut atau fakta lain. dari pasal tersebut juga kepada para pihak ditegaskan resiko dan alokasi pembebanan dimana barang siapa atau pihak yang menurut hukum dibebani pembuktian berarti mendapat alokasi untuk membuktikan hal itu, apabila yang bersangkutan tidak mampu membuktikan apa yang dialokasikan kepadanya pihak itu menanggung resiko kehilangan hak dan kedudukan atas kegagalan memberikan bukti yang relevan atas hal tersebut.

Dalam hukum materiil sendiri menentukan beban pembuktian yang diatur dalam pasal 1865 KUHPerdata,juga perlu diingat dalam pembuktian adanya batas minimal pembuktian.

Pengertian batas minimal adalah suatu jumlah alat bukti yang sah yang paling sedikit harus terpenuhi, agar alat bukti itu mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk mendukung kebenaran dalil atau dukemukakan apabila alat bukti yang diajukan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup untuk membuktikan kebenaran dalil atau peristiwa maupun pernyataan yang dikemukakan.

Misalnya dalam putusan MA No.1444 K/Pdt/1985 dalam putusan itu ditegaskan ternyata penggugat hanya mengajukan bukti terdiri dari: a . surat pembayaran ipeda, b. ditambah satu orang saksi yang kualitasnya sebagai saksi de audito, sehingga keterangan yang diberikan berdasarkan pendengaran dari orang lain (testimonium de auditu) atas dasar alat bukti yang diajukan pengadilan menilai belum mencapai batas minimal pembuktian



C. Klasifikasi kekuatan alat bukti dikaitkan dengan batas minimal pembuktian.
Alat bukti dalam pasal 1866 KUHPerdata yang merupakan alat bukti dalam perkara perdata terdiri dari:
Satu: Surat, dua: saksi-saksi, tiga: persangkaan, empat: pengakuan, dan lima: sumpah.

Alat bukti surat
Jika dinilai dari klasifikasi alat bukti maka alat bukti surat diklasifikasikan akta otentik, akta dibawah tangan dan akta sepihak atau pengakuan sepihak.

Bagi akta otentik sebagaimana diatur dalam pasal 1870 KUHPerdata mempunyai kekuatan bukti sempurna dan mengikat yang berati kebenaran isi dan pernyataan yang tercantum didalamnya mengikat kepada pihak-pihak yang ada didalam akta tersebut dan juga mengikat hakim untuk mematuhi akta tersebut.

Alat bukti saksi
Alat bukti saksi mempunyai nilai pembuktian bebas artinya hakim bebas mempertimbangkan atau menilai keterangan saksi bedasarkan kesamaan atau saling berhubungan antara saksi yang satu dengan yang lain sehingga nilai pembuktian keterangan saksi bahwa hakim tidak wajib terikat menerima atau menolak kebenarannya dan juga ditegaskan dalam pasal 1908 KUHPerdata dan 172 HIR dengan prinsip unus testis nullus testis artinya satu saksi bukan saksi.

Alat bukti pengakuan.
Mengenai kekuatan alat bukti pengakuan diatur dalam pasal 1925 KUHPerdata. pasal 174 HIR bahwa nilai kekuatan pembuktian dan batas minimal pembuktian dilihat dari bagaimana pengakuan itu diberikan dipersidangan jika pengakuan murni dan bulat maka nilai kekuatan pemnbuktiannya adalah sempurna, mengikat dan menentukan, jika pengakuan berklausal maka nilai pembuktiannya bersipat bebas, tidak sempurna dan tidak mengikat dan hal itu diserahkan kepada hakim.

Alat bukti persangkaan.
Kekuatan pembuktian alat bukti persangkaan diatur dalam pasal 1916, 1922 KUHPerdata dan pasal 173 HIR dalam pasal tersebut dikenal dua alat bukti persangkaan. jika persangkaan berdasarkan undang-undang pada prinsipnya nilai kekuatan pembuktian bersipat sempurna, mengikat dan memaksa oleh karena itu kebenaran yang melekat pada alat bukti ini bersipat imperatip bagi hakim untuk dijadikan dasar penilaian pengambilan keputusan,akan tetapi nilai kekuatan pembuktian yang mutlak ini hanya berlaku bagi persangkaan menurut Undang-undang yang tidak dapat dibantah. berbeda dengan persangkaan yang ditarik dari fakta dipersidangan nilai kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada hakim artinya nilai kekuatan pembuktiannya tidak bisa berdiri sendiri, minimal harus ada dua persangkaan atau satu persangkaan ditambah dengan alat bukti lainnya.

Alat bukti sumpah.
Nilai kekuatan alat bukti sumpah diatur dalam pasal 1929,1930 KUHPerdata, pasal 177 HIR, terdapat dua alat bukti sumpah yaitu satu sumpah menentukan dan kedua sumpah tambahan dalam sumpah yang menentukan batas minimal kekuatan pembuktian mempunyai nilai kesempurnaan, kekuatan mengikat dan kekuatan memaksa dan pengguguran hanya dilakukan berdasarkan putusan pidana atas kejahatan sumpah palsu. dan alat bukti sumpah menentukan ini jika tidak ada bantahan dari pihak lawan dapat berdiri sendiri tanpa tambahan alat bukti lain. sedangkan alat bukti sumpah tambahan harus diserta dengan alat bukti lainnya.

PENYITAAN DALAM PERKARA PERDATA

Bagi penggugat penyitaan adalah sangat penting agar gugatan nya dikabulkan,penggugat juga berkepentingan jika gugatannya dikabul kan terjamin haknya atau dapat dijamin putusannya dapat dilaksanakan sebab ada kemungkinan selama sidang berjalan pihak lawan atau ter gugat mengalihkan harta kekayaannya kepada orang lain,sehingga apabila kemudian gugatan penggugat dikabulkan oleh pengadilan putu-san itu tidak dapat dilaksanakan disebabkan tergugat sudah tidak mempunyai harta kekayaan lagi.

Untuk kepentingan penggugat agar terjamin haknya sekiranya gugatan penggugat dimenangkan nantinya undang-undang menyediakan upaya hukum untuk menjamin hak tersebut yang dikenal dengan penyitaan. penyitaan diatur dalam pasal 197ayat (9),199 HIR /212,214 Rbg oleh karena itu penyitaan disebut juga sita conservatoir atau sita jaminan.

Ada dua macam sita yaitu 1.sita jaminan terhadap barang milik sendiri (Pemohon) dan 2.Sita jaminan terhadap barang milik orang lain(debitur).

1. Sita jaminan terhadap miliknya sendiri.
Penyitaan ini dilakukan terhadap barang milik kreditu(penggugat) yang dikuasai oleh orang lain.sita jaminan ini bukanlah tagihan berupa uang,melainkan menjaminkan suatu hak kebendaan dari pemohon atau kreditu dan berakhir dengan penyerahan barang yang disita.

Sita jaminan terhadap barang miliknya sendiri ini ada dua macam terdiri dari :
Sita revindicatoir.
Sita ini diatur dalam pasal 226 HIR/260 Rbg dimana pemilik barang bergerak yang barangnya ada ditangan orang lain dapat diminta ,baik secara lisan maupun tertulis kepada KPN ditempat orang yang memegang barang tersebut tinggal agar barang tersebut disita ,jadi yang dapat mengajukan penyitaan adalah setiap pemilik barang bergerak yang barangnya dikuasai oleh orang lain contohnya hak rekalme pasal 1977 ayat(2) BW.

Sita Maritaal.
Sita Maritaal bukanlah untuk menjamin suatu tagihan uang atau penyerahan barang,melainkan agar barang yang disita tidak dijual.jadi fungsinya hanya melindungi hak pemohon selama pemeriksaan sengketa perceraian dipengadilan berlangsung atau dengan kata lain untuk melakukan penyimpanan atau membekukan barang-barang yang disita,karena hanya menyimpan dan membekukan maka sita ini tidak perlu dinyatakan sah dan berharga apabila gugatan penggugat dimenangkan.

Yang dapat disita secara maritaal ialah baik barang bergerak dari kesatuan harta kekayaan atau milik isteri maupun barang tetap dari kesatuan harta kekayaan sebagaimana diatur dalam pasal 823 Rv.

2. Sita jaminan terhadap barang milik kreditur.
Penyitaan inilah yang disebut sita conservatoir.sita ini merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada KPN untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata dengan menguangkan atau menjual barang tergugat yang disita guna memenuhi tuntutan penggugat.

Penyitaan ini hanya dapat terjadi atas perintah KPN atas permintaan penggugat.sita ini diatur dalam pasal 227 ayat (1) HIR/261 ayat(1) Rbg ,dalam konkritnya permohonan diajukan kepada Hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan dan setelah memenuhi syarat-syarat dan pertimbangan hakim yang memeriksa maka hakim yang memeriksa perkaranya mengelaurkan penetapan tentang sita tersebut.

Karena fungsinya untuk menjamin hak maka permohonan sita jaminan selalu berkaitan dengan pokok perkara dan lazimnya permohonan sita diajukan sebelum perkara diputus oleh hakim yang memeriksa perkara.

Bahwa sita conservatoir ini fungsinya tidak semata-mata untuk menyimpan barang yang disita,tetapi untuk kemudian untuk dijual maka sita jaminan apabila dikabulkan perlu memperoleh titel eksekutorial sehingga perlu dinyatakan sah dan berhargan didalam putusannya,apabila gugatan ditolak maka sita harus dinyatakan dicabut.

Sita conservatoir ini memberikan kewenangan kepada hakim untuk menyita barang-barang sebagai berikut :

a. Sita conservatoir atas barang bergerak milik debitur.
Barang bergerak yang disita harus dibiarkan tetap ada pada tergugat atau tersita untuk disimpannya dan dijaganya serta dilarang menjual atau mengalihkannya.sita ini diatur dalam pasal 227 jo 197 HIR/261 jo 208 Rbg.barang bergerak yang disita dapat pula disimpan di Pengadilan Negeri dengan dicatat dalam register penyitaan.

b. Sita conservatoir atas barang tetap milik debitur.
Penyitaan barang tetap itu meliputi juga tanaman diatasnya serta hasil panen pada saat dilakukan penyitaan.kalau barang tetap disewakan oleh pemiliknya,maka panen itu menjadi milik sipenyewa.ketentuan mengenai sita ini diatur dalam pasal 227,197,198,199 HIR/208,214 Rbg.penyitaan barang tetap harus dilakukan oleh jurusita ditempat barang-barang itu terletak dengan mencocokan batas-batas dan disaksikan oleh pamong desa ,tidak hanya pemilik barang tetap itu saja dan agar diketahui orang banyak salinan berita acara sita didaftarkan dikantor pendaftaran tanah sesuai dengan PP No.10/1961 jo pasal 198 ayat (1) HIR.

c. Sita conservatoir atas barang bergerak milik debitur yang ada ditangan pihak ketiga.
ketentuan penyitaan ini diatur dalam pasal 197 ayat (8) HIR/728 RV/211 Rbg .dalam hal debitur menpunyai pihutang kepada pihak ketiga maka kreditur untuk menjaminkan haknya dapat melakukan sita conservatoir atas barang bergerak milik debitur yang ada pada pihak ketiga itu.sita ini disebut derdenbeslag diatur dalam pasal 728 Rv ,dimana kreditur dapat menyita atas dasar akta otentik atau akta dibawah tangan ,uang dan barang yang merupakan pihutang debitur yang ada ditangan pihak ketiga,dalam Rv juga diatur tentang sita terhadap kreditu diatur dalam pasal 750a Rv,sita gadai,sita terhadap debitur yang tidak mempunyai tempat tinggal diindonesia dan sita atas pesawat terbang.

d. Sita conservatoir terhadap kreditur.
Ada kemungkinan debitur mempunyai hutang kepada kreditur .jadi ada hubungan hutang pihutang timbal balik antara kreditur dengan debitur dan padahakekatnya sita ini tidak lain adalah sita conservatoir atas barang-barang yang ada ditangan pihak ketiga.

e. Sita gadai.
Sita gadai hanya dapat dilakukan berdasarkan tuntutan yang disebut dalam pasal 1139 BW dan dijalankan atas barang-barang yang disebut dalam pasal 1140 BW.

f. Sita conservatoir atas barang-barang debitur yang tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal di Indonesia atau orang asing bukan penduduk Indonesia.
Rasio dari sita ini adalah untuk melindungi penduduk Indonesia terhadap orang asing bukan penduduk Indonesia.

g. Sita conservatoir atas pesawat terbang.
Pada azasnya semua barang bergerak maupun tetap milik debitur menjadi tanggungan untuk segala perikatan yang bersipat perorangan (pasal 1131 BW).ada bagian-bagian dari harta kekayaan yang tidak dapat disita dan ada yang dibebaskan dari penyitaan .
Pesawat terbang dapat disita berdasarkan ketentuan pasal 763h-763k Rv.

PUTUSAN HAKIM

Pemeriksaan suatu sengketa atau perkara dimuka hakim diakhiri dengan suatu putusan atau biasanya disebut vonis,dalam memutus suatu perkara hakim mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dengan memperhubungkan hukum yang sebenarnya antara dua pihak yang bersengketa itu.

Dalam suatu putusan hakim tidak selalu bersipat penghukuman ,bisa juga bersipat pernyataan misalnya jika penggugat berhasil membukti seluruh dalil-dalil gugatannya dan apa yang dituntut ada dalam petitum maka bersandar pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku maka pengadilan harus mengabulkan gugatan penggugat ,ada juga manakala penggugat hanya berhasil membuktikaN sebagian dari dalil-dalil gugatannya maka gugatan selebihnya harus ditolak.

Dari apa yang dilihat dapat dikatakan bahwa putusan hakim tidak selalu harus berisi penghukuman (Condemnatoir) bisa juga berisi hanya pernyataan misalnya sebagai ahli waris dari si Pulan hal ini dinyatakan sebagai pernyataan hal disebut sebagai pernyataan (declaration),ada juga putusan hakim yang menciptakan keadaan yang baru dinamakan konstitutip.adakala juga mengadung penghukuman dan pernyataan hal itu dilihat dari bagaimana penggugat dapat membuktikan gugatannya dimuka persidangan.

Disamping itu putusan hakim tadi juga harus mempunyai suatu kekuatan eksekutorial yaitu dapat dipaksakan dengan bantuan kekuatan umum (Polisi dan TNI) .dan akhirnya putusan yang sudah memperoleh kekuatan mutlak itu mempunyai kekuatan mengikat dalam arti tiada boleh perkara yang sudah diputus diajukan lagi ke muka persidangan atau jika diajukan lagi kepada penggugat tersebut diputus dengan putusan Ne bis in idem.

FORMULASI PUTUSAN.
Maksud formulasi putusan adalah susunan dan sistematik yang harus dirumuskan dalam putusan agar memenuhi syarat perundang-undangan yang diatur dalam pasal 184 ayat(1)HIR/pasal 195 Rbg ,mengenai formulasi putusan ini juga diatur dalam pasal 23 UU No.14 Tahun 1970 sebagaimana diubah dengan UU No.35 tahun 1999 sekarang dalam pasal 25 UU No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.ada beberapa formulasi yang harus diperhatikan yaitu :

1. memuat secara ringkas dan jelas pokok perkara, jawaban, pertimbangan dan amar putusan.

Dalam pemuatan secara ringkas dan jelas ini maka yang perlu dimuat adalah sebagai berikut :

a. Dalil gugatan.
Dalam dalil gugatan atau findamentum petendi dijelaskan dengan singkat dasar hukum dan hubungan hukum serta fakta yang menjadi dasar gugatan ,cukup berupa ringkasan dalil gugatan tetapi harus jelas dan dimengerti.

b. Mencantumkan jawaban tergugat.
Pengertian jawaban dalam arti luas meliputi replik dan duplik serta konklusi oleh karena itu sesuai dengan tata tertib beracara yang harus dirumuskan dalam putusan meliputi replik dan duplik maupun konklusi,ringkasan mengenai hal ini harus tercantum dalam putusan kelalaian mencantumkan mengakibatkan putusan menjadi batal demi hukum lihat putusan No.312 K/sip/1974.

c. Uraian singkat ringkas dan lingkup pembuktian.
kan masing-Berisi alat bukti apa saja yang diajumasing pihak dan terpenuhi atau tidak syarat formil dan syarat materiil masing-maing alat bukti yang diajukan.

d. Pertimbangan hukum.
Berisi apakah alat bukti yang diajukan penggugat dan tergugat memenuhi syarat formil dan syarat materiil,dan apakah alat bukti mana telah mencapai batas minimal pembuktian,dalil gugat apa saja dan dalil bantahan apa saja yang terbukti serta sejauh mana nilai kekuatan pembuktian alat bukti tersebut.

e. Ketentuan perundang-undangan.
Dalam putusan juga berisi pasal-pasal perundangan yang diterapkan dalam putusan ,hal mana diatur dalam pasal 23 ayat (1) UU No.14 tahun 1974 sebagaimana diubah dengan UU No.35 tahun 1999 jo pasal 25 UU No.4 tahun 2004,yang memuat segala putusan pengadilan selain memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan harus juga memuat pasal-pasal tertentu dan peraturan perundangan-undangan yang menjadi landasan putusan.

f. Amar putusan.
Amar atau diktum putusan merupakan pernyataan yang berkenaan dengan status dan hubungan hukum antara para pihak dengan barang objek yang disengketakan.jika gugatan terbukti seluruh dalil gugatan maka amarnya menyatakan menyatakan mengabulkan seluruh gugatan penggugat,jika hanya sebagaian yang terbukti maka amarnya berbunyi mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian.adakalanya gugat tidak dapat diterima(niet ontvankelijke verklaard) karena adanya cacat formil gugatan seperti error in persona atau obscuur libel dan sebagainya.adakalanya dalil-dalil gugatan tidak dapat dibuktikan oleh penggugat maka putusan akan menolak gugatan untuk seluruhnya.

g. Pada formulasi putusan juga pembebanan biaya perkara.
Prinsip pembebanab biaya perkara merujuk pada pasal 181 ayat(1) HIR/pasal 192 ayat(1) Rbg,biasanya dibebankan kepada pihak yang kalah dan juga adakalanya dibebankan kepada kedua pihak jika kemenangan tidak mutlak atau berimbang.

PUTUSAN VERSTEK

Putusan verstek tidak terlepas kaitannya dengan fungsi beracara dan penjatuhan putusan atas perkara yang disengketakan,yang memberi wewenang kepada hakim menjatuhkan putusan tanpa hadirnya Tergugat dan persoalan verstek diatur dalam pasal 124 HIR(oasal 77 Rv) dan pasal 125 ayat (1) Rbg(pasal 73 Rv).
Supomo menyebut dengan verstek dengan istilah acara diluar hadir sedangkan Subekti tetap mempergunakan istilah aslinya tetapi tulisannya “ perstek”.
Dalam praktek pengadilan istilah verstek sudah lazim digunakan sehingga dalam tulisan ini kita pergunakan istilah verstek,maksud utama putusan verstek dalam hukum acara adalah untuk mendorong para pihak mentaati tata tertib beracara,sehingga proses pemeriksaan penyelesaian perkara terhindar dari anarki atau kesewenangan.
A.SYARAT ACARA VERSTEK
Perihal syarat sahnya penerapan acara verstek kepada tergugat,merujuk pada ketentuan pasal 125 ayat(1)HIR atau pasal 78 Rv.bertitik tolak dari pasal tersebut maka syarat-syarat verstek sebagai berukut :
Tergugat telah dipanggil dengan sah dan patut.
Pemanggilan sah digariskan dalam pasal 390 ayat(1) dan (3) HIR jika tempat tinggal diketahui disampaikan kepada yang bersangkutan sendiri atau keluarganya melalui tempat tinggal domisili pilihan,dan disampaikan kepada kepala desa apabila yang bersangkutan dan keluarga tidak ditemukan jurusita ditempat kediamannya.Jika tempat tinggal tidak diketahui jurusita menyampaikan kepada walikota atau Bupati dan bupati atau walikota mengumumkan atau memaklumkan surat jurusita itu dengan jalan menempelkan pada papan pengumuman sidang PN.Jika tergugat berada diluar negeri dalam praktek berpedoman pada pasal 6-8 Rv dalam hal ini telah ada pedoman melalui jalur diplomatik.
Tidak hadir tanpa alasan sah.
Bila tergugat tidak datang menghadiri panggilan sidang tanpa alasan sah maka dapat diputus dengan verstek ,alasan sah sebagaimana diatur dalam pasal 125 ayat(1) HIR tidak jekas mengatur akan hal ini akan tetapi bertitik tolak dari pendekatan kepatututan dihubungkan dengan prinsip fair trial ,tidak adil menghukum tergugat dengan putusan verstek apabila kehadirannya disebabkan alasan yang masuk akal secara objektif.seperti alasan sakit,ditugaskan atasan ke bandung dsb.jika tergugat telah dipanggil tetapi tidak hadir tanpa alasan yang sah dan hakim menilai alasan ketidakhadiran tergugat tiada alasan yang sah maka putusan dijatuhkan dengan verstek.
Tergugat tidak mengajukan Eksepsi kompetensi.
Hukum acara memberi hak kepada tergugat mengajukan eksepsi kompetensi absolut berdasarkan pasal 134 HIR atau relatif berdasarkan pasal 133 HIR.apabila tergugat tidak megajukan eksepsi seperti itu,hakim dapat langsung menyelesaikan perkara dengan verstek.

UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN VERSTEK
Dalam pasal 129 HIR,pasal 153 Rbg mengatur berbagai aspek mengenai upaya hukum terhadap putusan verstek.
Ayat(1) mengenai bentuk upaya hukumnya adalah perlawanan atau verzet.
Ayat (2),mengatur mengenai tenggang waktu.
Ayat (3) mengatur mengenai cara pengajuan upaya hukum.
Ayat(4) mengatur permintaan penundaan eksekusi putusan verstek.
Ayat(5) mengatur tentang verzet terhadap verstek.
yang berhak mengajukan perlawanan.
Berdasarkan pasal 129 ayat (1) HIR dan pasal 83 Rv yang berhak mengajukan perlawanan hanya Tergugat saja,sedangkan kepada penggugat tidak diberi hak mengajukan perlawanan sesuai dengan putusan MA No.524 K/Sip/1975 verzet terhadap verstek hanya dapat diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara ,dalam hal ini pihak tergugat tidak oleh pihak ketiga.
Undang-undang tidak memberi hak kepada penggugat mengajukan perlawanan terhadap putusan verstek,namun demikian secara seimbang dan timbal balik pada pasal 8 ayat(1) UUNo.20 Tahun 1947 memberi upaya hukum kepada penggugat,jika penggugat menggunakan upaya hukum banding maka dengan sendirinya upaya perlawanan menjadi gugur.
Klasifikasi tenggang waktu mengajukan perlawanan.
Ada beberapa tenggang waktu yang dikaitkan dengan faktor penyampaian pemberitahuan yang dilakukan jurusita,sehingga menurut hukum ada tiga klasifikasi.
14 hari, apabila pemberitahuan disampaikan kepada pribadi tergugat ,ketentuan ini merupakan aturan umum diterapkan apabila terpenuhi syarat pemberitahuan putusan verstek dilakukan juru sita langsung kepada diri pribadi tergugat dan pemberitahuan disampaikan di tempat tinggal atau kediaman tergugat ,bila pemberitahuan disampaikan kepada kuasa maka dilihat dari isi surat kuasa.
Apabila tenggang waktu dilampaui akibat yang timbul maka gugur hak tergugat mengajukan perlawanan,tergugat dianggap menerima verstek sehingga putusan verstek memperoleh kekuatan hukum tetap.
Sampai hari kedelapan sesudah peringatan apabila pemberitahuan putusan tidak langsung kepada diri pribadi tergugat.
Penerapan tenggang waktu ini digantungkan pada syarat pemberitahuan tidak langsung disampaikan kepada diri pribadi atau kuasa tergugat,tetapi kepada orang lain sperti anggota keluarga atau kepala desa.
Pemberitahuan melalui media masa ditafsirkan sebagai pemberitahuan yang tidak langsung kepada tergugat atau kuasanya. Mengenai sampai hari kedelapan sesudah peringatan adalah sampai batas akhir masa peringatan.sebagai contoh tanggal 1 Januari 2003 dijatuhkan putusan verstek,pemberitahuan disampaikan tanggal 1 Pebruari 2003,namun tidak langsung kepada tergugat atau kuasanya tetapi kepada kepala desa.Ternyata sampai tenggang waktu 14 hari dari tanggal penyampaian kepada kepala desa tergugat tidak mengajukan perlawanan,kemudian penggugat meminta kepada PN agar putusan verstek dijalankan eksekusi atas alasan putusan dianggap telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena tenggang waktu mengajukan perlawanan selama 14 hari sudah terlampaui.
Untuk memenuhi permintaan eksekusi tersebut PN mengambil tindakan menetapkan sidang insidentil pada tanggal 1 Juni 2003 dan memerintahkan juru sita memanggil tergugat agar pada tanggal 1 juni 2003 mengahadiri sidang insidentil dimaksud untuk diperingati memenuhi putusan verstek dan ternyata tergugat datang memenuhi panggilan.
Masa peringatan yang diberikan PN maksimal 8 hari dalam arti apabila dalam masa 8 hari dari tanggal peringatan yaitu 1 Juni 2003 + 8 hari putusan verstek tidak dilaksanakan tergugat dengan sukarela,terhadapnya qakan dilakukan eksekusi secara paksa oleh PN.
Dalam kasus diatas karena pemberitahuan putusan verstek tidak langsung kepadanya tetapi melalui kepala desa,sampai hari kedelapan tanggal peringatan (1 Juni 2003),maka tergugat berhak mengajukan perlawanan.
sampai hari kedelapan dijalankan eksekusi berdasarkan pasal 197 HIR .
apabila masa peringatan hari kedelapan (1 Juni 2003) telah terlampaui dan tergugat dipanggil menghadiri sidang insidentil dalam rangka peringatan tergugat untuk melaksanakan putusan secara sukarela ternyata meskipun telah dipanggil dengan patut,tergugat tetap tidak mengahdiri sidang peringatan tersebut tanpa alasan yang sah maka berdasarkan ketidakhadiran itu PN menerapkan ketentuan pasal 197 ayat(1) HIR.
KUASA DI DEPAN PENGADILAN

Dalam pasal 123 ayat(1) HIR mengatakan selain kuasa secara lisan atau khusus tertulis yang ditunjuk dalam surat gugatan,pemberian kuasa dapat diwakili oleh kuasa dengan surat kuasa khusus atau bijzondere machtiging.
Syarat dan formulasi surat kuasa khusus dalam pasal 123 ayat(1) HIR hanya menyebutkan satu syarat pokok saja yaitu kuasa berbentuk tertulis atau akta yang disebut surat kuasa khusus.
Dalan SEMA No.6 tahun1994 tanggal 14 oktober 1994 pada dasarnya SEMA ini subsantasinya sama dengan yang disyaratkan dalam SEMA No.2 tahun 1959 dan SEMA No.01 tahun 1971 yang pada pokoknya mengatur syarat surat kuasa khusus harus memuat sebagai berikut :
menyebut dengan jelas dan spesifik surat kuasa untuk berperan di pengadilan .
menyebut kompetensi relatif.
menyebut identitas dan kedudukan para pihak.
menyebut secara ringkas dan konkret pokok dan objek sengketa yang diperkarakan.
Permasalahan yang timbul dalam persidangan dapat dilihat dari beberapa putusan mengena surat kuasa khusus yang akan kami kemukan dalam putusan Mahkamah agung.
Dalam putusan MA No.1912 K/Pdt/1984 dikatakan surat kuasa khusus yang tidak menyebutkan subjek dan objek tidak sah sebagai surat kuasa khusus.
Dalam putusan MA No.354 K/Pdt/1984 dikatakan seseorang yang dberikan kuasa umum untuk melakukan pengurusan perusahaan atau koorporasi tidak berwenang memberi kuasa khusus kepada siapapun untuk tampil di pengadilan membela kepentingan perusahaan tersebut.
Dalam putusan MA No.453K/sip/1973 dikatakan bahwa dalam surat kuasa tidak disebut kewenangan kuasa meliputi pemeriksaan ditingkat banding dan kasasi,namun dari berita acara pemeriksaan sidang pertama,ternyata pemberi kuasa hadir sendiri dengan didampingi oleh kuasa hukum maka dianggap surat kuasa itu juga untuk pemeriksaan banding dan dianggap khusus.
Dalam putusan MA No.2339 K/Pdt/1985 dikatakan surat kuasa yang tidak menyebut dengan tegas kedudukan pihak yang digugat dan juga tidak menyebut dengan tegas yuridiksi PN mana yang digugat adalah sah karena pasal 123 ayat(1) HIR tidak mewajibkan penyebutan dengan tegas nama PN diwilayah hukum mana gugatan diajukan.
Dalam putusan MA No.3038 K/Pdt/1981 dikatakan keabsahan surat kuasa yang dibuat di luar negeri selain memenuhi syarat formil yang ditentukan Undang-undang harus juga dilegalisir lebih dahulu oleh KBRI setempat.
Dalam Undang-undang No.5 Tahin 2004 tentang MA ,surat kuasa untuk kasasi mesti dibuat khusus tersendiri,hal ini juga sudah didukung oleh putusan MA No.51 K/Pdt/1991 dikatakan surat kuasa yang diberikan sejak semula pemberi kuasa telah memberikan kuasa kepada seseorang untuk bertindak sejak peradilan tingkat pertama,banding dan kasasi ,surat kuasa demikian adalah tidak valid dipergunakan untuk tinggkat kasasi maka harus dibuat lagi surat kuasa khusus pada tingkat Kasasi.
Dalam hal kuasa untuk mewakili negara berdasarkan pasal 123 ayat(2) HIR dan St.1922 No.522 yang dapat bertndak sebagai kuasa mewakili negara bukan hanya kejaksaan tetapi bisa juga pengacara negara yang diangkat pemerintah dan orang atau pejabat tertentu yang diangkat dan ditunjuk oleh instansi atau lembaga yang bersangkutan.




* Makalah ini disusun oleh : ACHMAD SATIBI ,SH.MH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar