Minggu, 29 Maret 2009

HUKUM ACARA PIDANA

MINGGU, 22 FEBRUARI 2009

MATERI PENDIDIKAN KHUSUS PROFESI ADVOKAT
“HUKUM ACARA PIDANA”
NY. IRDALINDA, SH.MH

SEKILAS TENTANG HUKUM ACARA PIDANA

Adalah mutlak perlu bagi Negara Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka memiliki hukum pidana yang bersifat nasional dan merupakan hasil karya daripada pembentuk undang-undang kita. Usaha ke arah pembentukan hukum acara pidana nasional bukan merupakan khayalan saja, karena tanggal 31 Desember 1981 telah ditetapkan Undang-undang No. 8 tahun 1981 LN 1981-76 yang kita kenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya kita singkat menjadi KUHAP.
Adanya usaha daripada pembentuk undang-undang kita untuk membentuk hukum acara pidana baru didasarkan kepada penghayatan dan pengamalan hukum acara pidana yang diatur di dalam Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad 1941 nomor 44) dan yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 1 Darurat tahun 1951 sudah tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional.
Oleh karena itu membentuk undang-undang tentang hukum acara pidana untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta kewajiban bagi mereka yang ada dalam proses pidana yang senantiasa harus dilandasi Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 adalah mutlak perlu. Pembangunan yang demikian itu (hukum acara pidana) bertujuan agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya serta dapat meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing.
Kemudian diadakan suatu usaha untuk menyusun RUU Hukum Acara Pidana yang dimulai pada tahun 1967 dengan dibentuknya sebuah Panitia Intern Departemen Kehakiman.
Pada tahun 1968 diadakan Seminar Hukum Nasional II di Semarang tentang hukum acara pidana dan Hak-hak Asasi Manusia, yang diselenggarakan oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional.
Pada tahun 1974 naskah Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana tersebut setelah disempurnakan, disampaikan oleh Menteri kehakiman kepada Sekretaris Kabinet. Setelah sekretaris kabinet meminta pendapat Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Departemen Hankam termasuk Polri dan Departemen Kehakiman, maka naskah Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana tersebut dibahas lagi dalam rapat koordinasi antara wakil-wakil dari instansi tersebut.
Dalam tahun 1979 diadakan pertemuan antara Menteri Kehakiman, Jaksa Agung dan Kapolri dan wakil dari Mahkamah Agung untuk membahas beberapa hal yang perlu untuk penyempurnaan Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Dengan amanat Presiden tanggal 12 September 1979 No. R.06/PU/IX/1979, maka disampaikan Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana kepada DPR RI untuk dibicarakan dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia guna mendapat persetujuannya.
Pada tanggal 9 Oktober 1979 dalam pembicaraan tingkat I, Menteri Kehakiman menyampaikan keterangan pemerintah tentang Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana dalam suatu sidang Paripurna DPR RI, dalam pembicaraan tingkat II yang dilakukan dalam sidang paripurna, fraksi-fraksi dalam DPR RI memberikan Pemandangan Umum terhadap Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana yang dilanjutkan dengan jawaban dari pemerintah. Pembicaraan tingkat III dilakukan dalam sidang komisi. Diputuskan oleh Badan Musyawarah DPR RI bahwa pembicaraan tingkat III Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana dilakukan oleh gabungan komisi III bersama komisi I DPR Republik Indonesia.
Akhirnya pada tanggal 23 September 1981, setelah penyampaian pendapat akhir oleh semua fraksi, dalam DPR RI dalam sidang paripurna maka Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana disetujui oleh DPR RI untuk disahkan menjadi undang-undang oleh Presiden. Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana tersebut kemudian oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 31 Desember 1981 telah disahkan menjadi undang-undang yaitu Undang-undang No. 8 tahun 1981.

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PIDANA
Asas-asas Hukum Acara Pidana sepenuhnya diambil dari Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 yaitu:
Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan;
Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberikan wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal serta dengan cara yang diatur oleh undang-undang;
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap;
Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kalalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi;
Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dengan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan;
Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya;
Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahukan haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum;
Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa;
Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang;
Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan.

HUKUM ACARA PIDANA
Ilmu Hukum Acara Pidana adalah mempelajari serangkaian peraturan yang diciptakan oleh Negara, dalam hal adanya dugaan dilanggarnya Undang-undang Pidana:
Negara menyidik kebenaran adanya dugaan pelanggaran;
Sedapat mungkin menyidik pelakunya;
Melakukan tindakan agar pelakunya dapat ditangkap dan kalau perlu ditahan;
Alat-alat bukti yang diperoleh dari hasil penyidikan dilimpahkan kepada Hakim dan terdakwa dihadapkan kedepan Hakim tersebut;
Setelah diserahkan kepada Hakim, Hakim dapat mengambil putusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dan Hakim dapat mengambil tindakan atau hukuman apa yang akan diambil atau dijatuhkan;
Menentukan upaya hukum guna melawan putusan tersebut;
Akhirnya, melaksanakan putusan tentang pidana atau tindakan untuk dilaksanakan.

TUJUAN HUKUM ACARA PIDANA
Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan.

ASAS-ASAS YANG MENGATUR PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KELUHURAN HARKAT DAN MARTABAT MANUSIA (UU NO.4/2004 jo UU NO.8/1981 KUHAP)
Perlakuan yang sama atas diri seseorang di muka hukum dan tidak ada perbedaan perlakuan;
Penangkapan, penahanan, penggledahan dan penyitaan dilakukan dengan perintah tertulis dari pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang hanya dalam hal dan menurut cara yang diatur Undang-undang;
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap;
Seseorang yang ditahan, ditangkap, dituntut ataupun diadili tanpa alas an yang berdasarkan Undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan. Para Penegak hukum yang dengan sengaja atau lalai menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana atau dikenakan hukuman administrasi;
Asas Peradilan yang Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan, serta Bebas, Jujur dan Tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen;
Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan dirinya;
Seorang tersangka, sejak dilakukan penangkapan atau penahanan selain diberi tahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya juga wajib diberi tahu haknya itu termasuk hak untuk meminta bantuan Penasehat hukum;
Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa;
Sidang pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang;
Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melaksanakan pengawasan terhadap putusan pengadilan dalam perkara pidana.

WEWENANG PENYELIDIK, PENYIDIK, PENUNTUT UMUM, HAKIM, LEMBAGA PEMASYARAKATAN DAN ADVOKAT DALAM SISTEM PERADILAN INDONESIA
WEWENANG PENYELIDIK (PASAL 5 KUHAP)
a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang:
Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
Mencari keterangan dan barang bukti;
Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
b. Atas perintah Penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;
Pemeriksaan dan penyitaan surat;
Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
Membawa dan menghadapkan seseorang pada Penyidik.

WEWENANG PENYIDIK (PASAL7 AYAT (1) KUHAP)
Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian;
Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
Memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
Mengadakan penghentian penyidikan;
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

WEWENANG PENUNTUT UMUM (PASAL 14 KUHAP)
Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik pembantu;
Mengadakan Prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4)dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
Memberikan perpanjangan penahanan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan penyidik;
Membuat Surat Dakwaan;
Melimpahkan perkara ke pengadilan;
Memberitahu terdakwa mengenai hari dan waktu perkara disidangkan disertai surat panggilan baik kepada terdakwa maupun saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
Melakukan penuntutan;
Menutup perkara demi kepentingan hukum;
Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai Penuntut Umum menurut ketentuan Undang-undang;
Melaksanakan penetapan Hakim.
Catatan:
Jaksa sebagai eksekutor adalah melaksanakan Putusan Pengadilan yang berkekuatan ukum tetap;
Jaksa sebagai penyidik adalah penyidik tindak pidana khusus antara lain: TIPIKOR dan Tindak Pidana HAM Berat.

TUGAS PENGADILAN (UU NO. 8/2004, UU NO. 4/2004 DAN KUHAP)
Tugas Hakim/Pengadilan, menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya.

RUTAN
Rutan adalah tempat penempatan tersangka atau terdakwa ditahan atas dasar penetapan Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim.

LEMBAGA PEMASYARAKATAN
Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat terpidana melaksanakan Putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.

ADVOKAT (PASAL 1 AYAT (1) UU NO. 18/2003 TENTANG ADVOKAT)
Advokat merupakan bagian integral (sub sistem) dalam sistem peradilan yang terintegrasi. Sebagai salah satu pilar, maka kehadirannya sangat penting dalam rangka mewujudkan peradilan yang jujur, adil, bersih menjamin kepastian hukum dan kepastian keadilan dan jaminan HAM untuk menciptakan independensi Kekuasaan Kehakiman. Keberadaan Advokat secara perseorangan maupun secara organisatoris harus mampu menjadi faktor pendorong dalam mewujudkan sistem Peradilan yang terintegrasi.

HUBUNGAN KOORDINASI FUNGSIONAL DAN INSTANSIONAL ANTARA PENYIDIK DENGAN PENUNTUT UMUM
Mulainya penyidikan dan kewajiban pemberitahuan kepada Penuntut Umum (Pasal 109 ayat (1) KUHAP);
Perpanjangan penahanan untuk kepentingan penyelesaian penyidikan (Pasal 24 ayat (2) KUHAP);
Penghentian penyidikan yang diberitahukan kepada Penuntut Umum (Pasal 109 ayat (2) KUHAP);
Penyerahan berkas perkara hasil penyidikan kepada Penuntut Umum (Pasal 110 ayat (1) KUHAP);
Penyidikan tambahan atas petunjuk Penuntut Umum dalam hal berkas dikembalikan kepada Penyidik karena kurang lengkap (Pasal 110 ayat (2) s.d ayat (4) jo Pasal 138 KUHAP).

HUBUNGAN KOORDINASI FUNGSIONAL DAN INSTANSIONAL ANTARA PENYIDIK DENGAN PENGADILAN
Perpanjangan penahanan (Pasal 29 ayat (3) KUHAP);
Penggeledahan rumah (Pasal 33 KUHAP) ;
Penyitaan (Pasal 38 KUHAP);
Pemeriksaan Surat (Pasal 47 KUHAP);
Acara pemeriksaan tindak pidana ringan (Pasal 205 KUHAP)
Acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas (Pasal 211 s.d 216 KUHAP).

HUBUNGAN KOORDINASI FUNGSIONAL DAN INSTANSIONAL ANTARA PENYIDIK DENGAN PEJABAT PNS TERTENTU
Koordinasi dan pengawasan (Pasal 7 ayat (2) KUHAP);
Pemberian petunjuk, bantuan dan laporan dimulainya penyidikan dan penghentian penyidikan serta penyerahan hasil penyidikan (Pasal 107 KUHAP).

HUBUNGAN KOORDINASI FUNGSIONAL DAN INSTANSIONAL ANTARA PENYIDIK DENGAN PENASEHAT HUKUM
Pejabat penyidik wajib menunjuk Penasehat Hukum bagi terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana 15 tahun lebih yang tidak mempunyai Penasehat hukum (Pasal 56 ayat (2) KUHAP);
Penasehat Hukum yang ditunjuk tersebut harus memberikan bantuan dengan cuma-cuma (Pasal 56 ayat (2) KUHAP);
Dalam hal Penasehat Hukum menyalahgunakan hubungan dan pembicaraan dengan tersangka (Pasal 70 KUHAP);
Pengawasan penyidik dalam hal Penasehat Hukum berhubungan dengn tersangka dan mendampingi tersangka yang diperiksa oleh penyidik (Pasal 71 dan Pasal 115 KUHAP).

HUBUNGAN KOORDINASI FUNGSIONAL DAN INSTANSIONAL ANTARA PENUNTUT UMUM DENGAN PENGADILAN
Perpanjagan penahanan (Psl 25 ayat (2) dan Psl 29 ayat (3) KUHAP);
Melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri (Psl 143 KUHAP);
Menghadiri siding Pengadilan (BAB XVI KUHAP);
Mengajukan tuntutan pidana.

HUBUNGAN KOORDINASI FUNGSIONAL DAN INSTANSIONAL ANTARA JAKSA, LEMBAGA PEMASYARAKATAN DAN PENGADILAN
Jaksa sebagai eksekutor melaksanakan putusan Pengadilan (Psl 277 dan Psl 278 KUHAP);
Hakim melakukan pengawasan dan pengamatan atas pelaksanaan putusan di Lembaga Pemasyarakatan (BAB XX KUHAP).

HUBUNGAN KOORDINASI FUNGSIONAL DAN INSTANSIONAL ANTARA PENASEHAT HUKUM DENGAN PENGADILAN
Pejabat Pengadilan wajib menunjuk Penasehat Hukum bagi terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana 15 tahun lebih yang tidak mempunyai Penasehat hukum (Pasal 56 ayat (2) KUHAP);
Penasehat Hukum yang ditunjuk tersebut harus memberikan bantuan dengan cuma-cuma (Pasal 56 ayat (2) KUHAP);

BERIKUT AKAN DIURAIKAN BEBERAPA PENGERTIAN, YAITU MENGENAI:
Perkara dihentikan penuntutannya demi kepentingan hukum dikarenakan, antara lain: tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana (Psl 14 huruf h jo Psl 140 ayat (2) huruf a KUHP);
Perkara ditutup demi hukum (Psl 14 huruf h jo Psl 140 ayat (2) huruf a KUHP) dikarenakan tersangka meninggal dunia dan perkaranya tergolong “Ne bis in idem/kadaluarsa (Psl 76 s.d Psl 78 KUHP);
Perwujudan asas oportunitas: penyampingan perkara untuk kepentingan umum. Jaksa Agung selaku Penuntut Umum tertinggi berdasarkan keadaan-keadaan yang nyata untuk tidak menuntut suatu perkara dimuka persidangan pengadilan pidana agar kepentingan umum tidak lebih dirugikan (Penjelasan Psl 77 KUHAP jo Psl 8 UU No. 15/1961 jo Psl 35 huruf c UU No. 16/2004 Tentang Kejaksaan RI).

HAL-HAL MENGENAI PENAHANAN
Landasan Dasarnya ditentukan dalam Psl 21 ayat (4) KUHAP (penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana):
Yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih;
Terhadap pelaku tindak pidana tertentu meskipun ancama pidananya kurang dari 5 tahun, yaitu tindak pidana:
Terdapat dalam Psl 282 ayat (3) (Kesusilaan), Psl 296 (Pencabulan), Psl 335 ayat (1) (perbuatan tidak menyenangkan), Psl 353 ayat (1) (Penganiayaan), Psl 372 (Penggelapan), Psl 378 (Penipuan), Psl 379 huruf a, Psl 453, Psl 454, Psl 455, Psl 459, Psl 480 (Penadahan) dan Psl 506 (Germo).
Pasal-pasal yang terdapat dari Undang-Undang Tindak Pidana Khusus:
Psl 25 dan Psl 26 Rechten Ordonantie (Pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan ST Tahun 1931 No. 471);
Psl 1, Psl 2, Psl 4 UU Tindak Pidana Imigrasi (UU No. 8 DRT Tahun 1855 L.N Tahun 1855 No. 8);
Psl 36 ayat (7), Psl 51, Psl 42, Psl 43, Psl 47 dan Psl 48 UU No. 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika (L.N Tahun 1976 No. 37, L.N No. 3086).

PENAHAN DILAKUKAN KARENA ADANYA KEADAAN YANG MENIMBULKAN KEKHAWATIRAN (PSL 21 AYAT (1) KUHAP:
Tersangka atau terdakwa akan melarikan diri;
Merusak atau menghilangkan barang bukti;
Dikhawatirkan akan mengulangi tindak pidana.

SYARAT YANG HARUS DIPENUHI UNTUK MELAKUKAN PENAHANAN BERDASARKAN PSL 21 AYAT (1) KUHAP:
Tersangka atau terdakwa diduga keras sebagai pelaku tindak pidana yang bersangkutan;
Dugaan keras tersebut didasarkan pada bukti yang cukup (adanya keterangan-keterangan yang cukup menunjukan bahwa tersangka “bersalah” (Psl 62ayat (1) dan Psl 75 HIR)).

PENGURANGAN MASA PENAHANAN
Masa penahanan harus dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan.

RUMUSAN AMAR YANG PERLU DIPERHATIKAN:
A. Apabila Terdakwa Terbukti Bersalah:
Menyatakan Terdakwa … tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana …
Menghukum oleh karena itu Terdakwa dengan pidana penjara/kurungan selama … dan pidana denda sebesar Rp. … dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama …
Menetapkan masa penahanan yang telah dijalanai terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan
Memerintahkan agar terdakwa ditahan
Menetapkan barang bukti berupa … dst
Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar …
B. Rumusan Rehabilitasi dengan redaksional
“Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya”
C. Rumusan tuntutan gugur karena terdakwa meninggal dunia
“Menyatakan kewenangan Penuntut Umum untuk gugur dan membebankan biaya perkara kepada Negara”
D. Dalam hal terdakwa tidak dapat dihadirkan disidang
“Menyatakan tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima”

ALAT BUKTI YANG SAH (PSL 184 KUHAP):
Keterangan saksi;
Keterangan ahli;
Surat;
Petunjuk;
Keterangan terdakwa.

UPAYA HUKUM
Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan PK dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam UU ini (Psl 1 ayat (12).
Upaya hukum ada 2 (dua):
1. Biasa (diajukan terhadap putusan yang belum berkekuatan hukum tetap. Bab XVI bagian ketiga dan Bab XVII):
Perlawanan (Psl 214 ayat (4), Psl 156 ayat (3), (4), (5), Psl 29 ayat (2), Psl 154 ayat (1) jo Psl 149 KUHAP);
Banding (Psl 67, Psl 233 s/d Psl 243 KUHAP);
Kasasi (Psl 244 s/d Psl 258 KUHAP).
2. Luar biasa (diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Bab XVIII):
Kasasi demi kasasi demi kepentingan hokum (Psl 259 s/d Psl 262 KUHAP)
Peninjauan Kembali (Psl 263 s/d 269 KUHAP).

EKSEPSI (PSL 156 AYAT (1) KUHAP)
Eksepsi adalah tangkisan/pembelaan yang tidak mengenai atau tidak ditujukan terhadap Materi Pokok surat dakwaan tetapi ditujukan terhadap cacat formil yang melekat pada surat dakwaan.

ALASAN EKSEPSI/KEBERATAN (PSL 156 AYAT (1) KUHAP)
Pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya;
Dakwaan tidak dapat diterima;
Eksepsi subjudice;
Eksepsi in personam;
Eksepsi keliru sistematika, dakwaan subsidairitas;
Keliru bentuk dakwaan yang diajukan.
Dakwaan harus dibatalkan (batal demi hukum Psl 143 ayat (2) KUHAP)
Tidak memuat tanggal dan tanda tangan;
Tidak secara lengkap menyebut identitas terdakwa;
Tidak menyebut locus delicti dan tempus delicti
Tidak cermat, jelas, lengkap uraian tentang tindak pidana yang didakwakan.

PRINSIP PENGAJUAN EKSEPSI
Prinsip pengajuan keberatan yang menyangkut pembelaan atas alasan formil (Psl 156 ayat (1):
Harus diajukan pada sidang pertama setelah Penuntut umum membacakan surat dakwaan.
Bila pengajuan dilakukan diluar tenggang yang disebutkan, eksepsi tidak perlu ditanggapi kecuali eksepsi mengenai kewenangan mengadili (Psl 156 ayat (7) KUHAP).

EKSEPSI KEWENANGAN ATAU HAK UNTUK MENUNTUT HAPUS ATAU GUGUR KARENA:
Exception judicate atau nebis in idem (tidak dapat dituntut 2 (dua) kali atas kasus yang sama (Psl 76 KUHP));
Exception in tempores (daluarsa (Psl 78 KUHP));
Terdakwa meninggal dunia (Psl 77 KUHP).

EKSEPSI TUNTUTAN PENUNTUT UMUM TIDAK DAPAT DITERIMA KARENA :
Penyidikan tidak memenuhi ketentuan Psl 56 ayat (1) KUHAP (terdakwa/tersangka yang diancam pidana 5 th/lebih atau hukuman mati dan tidak mampu, wajib didampingi Penasehat Hukum secara cuma-cuma);
Tidak memenuhi syarat delik aduan.

EKSEPSI LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM KARENA :
Jika perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi perbuatan itu bukan tindak pidana.

HUKUM PEMBUKTIAN SEBAGAI INSTRUMEN DOMINAN DALAM PEMERIKSAAN PERKARA
Hukum pembuktian, ketentuan ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh UU untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Mengatur alat bukti yang dibenarkan UU dan yang boleh dipergunakan hakim dalam membuktikan perbuatan yang didakwakan.

SISTEM PEMBUKTIAN
Bertujuan untuk mengetahui bgmn cara meletakkan suatu hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa.
Hasil & kekuatan pembuktian yang bgmn yang dpt dianggap cukup proporsional guna membuktikan kesalahan terdakwa.
Apakah kelengkapan pembuktian dengan alat 2 (dua) bukti masih diperlukan keyakinan hakim?

TEORI SISTIM PEMBUKTIAN
Conviction in time, sistim ini menentukan salah/tidaknya terdakwa ditentukan oleh penilaian “keyakinan hakim” tidak menjadi soal dari mana / atas dasar apa hakim menarik & menyimpulkan keterbuktian terdakwa.
Conviction Raisone, sistem ini “keyakinan hakim” tetap mengandung peranan penting didlm menentukan salah/tdknya terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim “dibatasi “ karena harus didasari dengan alasan 2 yang jelas.


PEMBUKTIAN MENURUT UU SECARA POSITIF.
Dlm sistem ini, keyakinan hakim tdk ikut berperan karena berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat bukti sah yang ditentukan oleh UU;
Sistem pembuktian menurut UU secara negatif, adalah merupakan gabungan sistem pembuktian keyakinan dng pembuktian menurut UU secara positif salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara & penilaian alat-alat bukti yang syah menurut UU;
Pembuktian menurut UU secara positif. Dalam sistem ini, keyakinan hakim tidak ikut berperan karena berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat bukti syah yang ditentukan oleh UU;
Sistem pembuktian menurut UU secara negatif, adalah merupakan gabungan sistem pembuktian keyakinan dengan pembuktian menurut UU secara positif salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara & penilaian alat-alat bukti yang syah menurut UU.

ALAT-ALAT BUKTI MENURUT UU
Pasal:184 (1) KUHAP, telah mengatur secara “rinci & limitatif “ alat bukti yang syah menurut UU, yaitu:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk dan
e. keterangan terdakwa.

CARA MENILAI KEBENARAN KETERANGAN SAKSI
Sesuai dng pasal 185(6) KUHAP, dalam menilai kebenaran keterangan saksi, hakim harus sungguh sungguh memperhatikan:
Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan lainnya.
Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lainnya.
Alasan saksi dalam memberikan keterangan tertentu, cara hidup dan kesusilaan saksi.

KETERANGAN SAKSI AHLI
Pasal.1 butir 28 KUHAP, memberikan pengertian tentang apa yang disebut keterangan ahli, yang intinya:
Keterangan ahli, ialah keterangan yang diberikan seorang ahli “memiliki kwalifikasi keahlian khusus” tentang masalah yang diperlukan penjelasannya dalam perkara pidana yang sedang diperiksa.
Maksud ketentuan khusus dari ahli, agar perkara pidana yang sedang diperiksa menjadi terang, demi untuk penyelesaian pemeriksaan perkara yang bersangkutan.

ALAT BUKTI SURAT
Pasal:187, bukti surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut UU, adalah: surat yang dibuat atas sumpah jabatan, atau surat yang dikuatkan dengan sumpah, yang didalam praktek kemudian dapat dibedakan:
berita acara & surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya.
surat yang berbentuk menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dlm tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya.
Surat keterangan dari ahli yang memuat pendapat berdasar atas keahliannya tentang sesuatu hal yang secara resmi dimintakan kepadanya.
Surat lain yang hanya berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

KETERANGAN TERDAKWA
Keterangan terdakwa sebagai alat bukti, yaitu:
Apa yang terdakwa nyatakan/jelaskan disidang pengadilan.
Apa yang dinyatakan/dijelaskan itu ialah tentang perbuatan yang terdakwa lakukan atau mengenai yang ia ketahui atau yang berhubungan dengan apa yang terdakwa alami sendiri dalam peristiwa pidana yang sedang diperiksa.

TERBUKTI SYAH & MEYAKINKAN
Definisi terbukti secara syah dan meyakinkan
Tujuan utama adalah mencari & mewujudkan kebenaran yang sejati (ultimate truth atau absolute truth)
Pengertian yang terungkap, ditinjau dari segi praktek peradilan, yaitu jangan sampai menghukum orang yang tidak bersalah dan jangan membebaskan orang yang bersalah.

BENTUK-BENTUK PUTUSAN
Putusan bebas, terdakwa dijatuhi putusan bebas dari tuntutan hukum (vrij spraak)” acquitaal (pasal. 191. ayat.1 KUHAP), karena tidak memenuhi asas pembuktian menurut UU secara negatif atau karena tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian (karena harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang syah);
Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum. Pasal.191 ayat.2 KUHAP, jika Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi bukan merupakan perbuatan pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (yang dulu dikenal dengan ”onslaag van alle rechts vervolging”);
Putusan pemidanaan (pasal.193 KUHAP), yang artinya terdakwa dipidana sesuai dgn ancaman pidana yang ditentukan didalam pasal dari UU yang didakwakan . Putusan pemidanaan kendatipun penentuan berat ringannya pidana wewenang hakim akan tetapi pidana tersebut harus rasional dan proporsional, sesuai dengan tujuan pemidanaan dari itu kewenangan diskresi hakim tsb hanya boleh bergerak dalam batas minimum & maksimum.
Putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima, yang mendasarkan pada ketentuan pasal: 156 (1) KUHAP, misalnya karena adanya eksepsi, dakwaan nebis in idem, atau perbuatan yang didakwakan bukan merupakan tindak pidana kejahatan/pelanggaran atau Jaksa/PU tidak berhasil menghadapkan terdakwa, atau perbuatan yang didakwakan telah kadaluwarsa.
Putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum, yang mendasarkan pada pasal: 143(3) yo. pasal. 156 (1) KUHAP, pengadilan Negeri dapat menjatuhkan putusan dakwaan batal demi hukum. Hal hal yang perlu dimuat didalam putusan supaya diperhatikan pasal: 197 KUHAP.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar