Minggu, 29 Maret 2009

MEWUJUDKAN ORGANISASI ADVOKAT YANG MANDIRI DAN PROFESIONAL

OIeh: Hasanuddin Nasution

PENDAHULUAN

Makalah ini saya mulai dengan mengajukan pertanyaan sederhana, apakah Advokat itu?
Pertanyaan ini penting mengingat bahwa sebelum lahirnya UU No. 8 tahun 2003, kita memiliki istilah yang sangat beragam atas hal tersebut seperti pengacara, penasehat hukum, pembela, konsultan hukum dan lain sebagainya.
Berkaitan dengan hal tersebut marilah kita tinjau beberapa pengertian berikut ini :
Kata advokat, secara etimologis berasal dari bahasa latin “Advocare”, yang berarti “to defend, to call to one’s aid to vouch or warrant. Sedangkan dalam bahasa inggris Advocate berarti to speak in favour of or depend by argument, to support, indicate, or recommended publicly

Frans Hendra Winata, Advokat Indonesia, Cita, Idealisme, dan Keprihatinan, Sinar Harapan, Jakarta, 1995, halaman 19, dalam buku Advokat dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, Drs. Rahmat Rosyadi, S.H., M.H dan Sri Hartini, S.H., halaman 72..
Menurut Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) pada bab 1, pasal 1 ayat (1), Anggaran Dasar AAl, Advokat didefinisikan, termasuk penasehat hukum, pengacara praktek, dan para konsultan hukum
Yuda Pandu, Klien dan Penasehat Hukum dalam Perspektif Masa Kini, PT Abadi Jaya, Jakarta, 2001, halaman 11, dalam buku Advokat dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, Drs. Rahmat Rosyadi, SH., M.H dan Sri Hartini, S.H., halaman 73..
Advokat menurut UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah: “Orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan, berdasarkan ketentuan undang-undang ini”.
Dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khususnya pasal 1, butir 13, menyatakan bahwa; “seorang penasihat hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh dan/ atau berdasarkan undang-undang untuk memberikan bantuan hukum”.
Advokat, pengacara dan penasihat hukum dalam praktek hukum di Indonesia adalah orang yang mewakili kliennya untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan surat kuasa yang diberikan untuk pembelaan atau penuntutan pada acara persidangan di Pengadilan atau beracara di Pengadilan (litigator). Sedangkan konsultan hukum adalah orang yang bekerja di luar pengadilan yang bertindak memberikan nasihat-nasihat dan pendapat hukum terhadap suatu tindakan/perbuatan hukum yang akan dan yang telah dilakukan kliennya (non litigator)
Yudha Pandu, Klien dan Advokat dalam Praktek, halaman 9.
Dalam bahasa lnggris, advokat disebut Trail Lawyer. Secara spesifik di Amerika dikenal sebagai attorney at law atau di lnggris dikenal sebagai barrister. Peran dan tugas-tugas penting yang diberikan oleh penasihat hukum di Amerika dikenal sebagai counselor at law atau di lnggris dikenal sebagai Solicitor. Selain itu juga terdapat istilah-istilah hukum dalam bahasa Inggris yang melakukan pekerjaan bersifat non litigasi: di luar pengadilan, seperti corporate lawyer, legal officer, legal council, dan legal advisor, legal assistance.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa advokat adalah merupakan profesi yang memberi jasa hukum kepada masyarakat atau kliennya baik secara litigasi maupun non ligitasi dengan mendapatkan atau tidak mendapatkan honorarium/fee
Ibid, halaman 11..
Pengertian-pengertian yang diberikan terhadap istilah advokat ini di Indonesia terus berkembang secara cepat seiring dengan tuntutan demokrasi dan hak asasi manusia. Akan tetapi penting untuk dipahami dengan baik bahwa pengertian profesi (profession) advokat tersebut berbeda dari pengertian pekerjaan (job/occupation). Menurut Milerson, yang membedakan kaum professional dari pekerjaan yang lain adalah (1) ketrampilan yang didasarkan pada pengetahuan teoritis; (2) penyediaan latihan dan pendidikan; (3) pengujian kemampuan anggota; (4) organisasi; (5) kepatuhan kepada suatu aturan main professional; dan (6) jasa/pelayanan yang sifatnya altruistik.
Pada dasarnya agar Advokat dapat dikategorikan sebagai profesional perlu memenuhi persyaratan sebagai berikut :
harus ada ilmu (= hukum), yang diolah didalamnya.
Harus ada kebebasan. Tidak boleh ada hubungan dinas (dienstiverhouding) atau hierarchie.
Harus mengabdi kepada kepetingan umum. Mencari kekayaan tidak boleh menjadi tujuan.
Harus ada “clientele verhouding”, yaitu hubungan kepercayaan antara advokat dengan klien.
Harus ada kewajiban merahasiakan informasi yang diterima dari client. Akibatnya advokat harus dilindungi haknya merahasiakan informasi yang diterima dari client.
Harus ada immuniteit (hak tidak boleh dituntut) terhadap penuntutan-penuntutan tentang sikap dan perbuatan yang dilakukan dalam pembelaan.
Harus ada code ethica dan peradilan code ethica oleh suatu dewan kehormatan.
Boleh menerima honorarium yang tidak perlu seimbang dengan hasil pekerjaan atau banyaknya usaha atau jerih payah, pikiran yang dicurahkan di dalam pekerjaan itu. Orang yang tidak mampu, harus ditolong Cuma-Cuma dan dengan usaha yang sama.
Dari beberapa pengertian sebagaimana disebutkan di atas, dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa advokat sebagaimana diintrodusir oleh Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat adalah merupakan pengertian dan istilah yang dianggap sangat tepat, lugas, demokratis dan aspiratif serta akomodatif.
Dengan demikian kita patut harus bangga karena dengan Iahirnya Undang-Undang ini kita tidak lagi mengenal adanya perbedaan-perbedaan antara Advokat bagi mereka yang memiliki izin dan Menteri Kehakiman dengan wilayah kerja seluruh Indonesia dan Pengacara Praktek bagi mereka yang memiliki izin dari Pengadilan Tinggi dengan wilayah kerja dalam Iingkup propinsi.
SEKILAS TENTANG ORGANISASI ADVOKAT
Bentuk dan paradigma organisasi Advokat di Indonesia terus berubah, seiring dengan perkembangan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Secara historis perubahan itu dapat dikategorikan ke dalam 4 masa, yaitu :
Masa Hindia Belanda
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda kita belum mengenal bentuk organisasi Advokat yang permanen seperti sekarang ini, meskipun pada masa ini kita sudah mencatat adanya dua jenis peradilan yang dibentuk dan beroperasi di Indonesia, ialah: Raad van justitie dan Iandraad yang dibentuk berdasarkan staatsblaad 1847 no. 23 tentang Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Bleid der justitie in Indonesia (RO). Dimana dalam masa itu sudah ada profesi advokat, kendati dalam Iingkup dan komunitas yang sangat terbatas, yakni di kalangan orang-orang Belanda dan Asing Iainnya. Salah satu organisasi advokat yang ada pada kurun waktu itu adalah “Balie van Advocaten” yang didirikan oleh Mr. Sastro Mudjono, Mr. Iskak dan Mr. Soenarjo.
Masa Orde Baru
Untuk pertama kali dan dianggap sebagai cikal bakal organisasi Advokat di Indonesia baru muncul pada tahun 1963 atau delapan belas tahun setelah kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamirkan. Diawali dengan terbentuknya Persatuan Advokat Indonesia (PAl) pada tanggal 14 Maret 1963
Yudha Pandum Klien & Advokat dalam praktek, halaman 45.
Adapun Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) didirikan pada tanggal 30 Agustus 1964 di Solo. Dimana kemudian oleh pejabat Presiden, Bapak Jenderal Soeharto secara resmi PERADIN dakui sebagai satu-satunya organisasi advokat Indonesia pada tahun 1966
Loekman Wiriadinata, SH., Kemandirian Kekuasaan Kehakima,halaman 79.
Pernyataan Soeharto tentang satu-satu organisasi advokat dapat dianggap sebagai suatu pernyataan politik dalam rangka untuk Iebih memudahkan kontrol terhadap para advokat kala itu. Akan tetapi kontrol yang dijalankan oleh pemerintahan Soeharto itu hanyalah kamuflase, karena pada saat yang sama pemerintah juga mulai mendorong Iahirnya organisasi-organisasi advokat yang baru dalam rangka untuk memperlemah PERADIN. Organisasi-organisasi tersebut antara lain; Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Bina Bantuan Hukum (BBH), Pusat Bantuan dan Pengabdi Hukum (Pusbadi) dan lain-lain.
Sejarah kembali berulang, atas prakarsa Ali Said, selaku Menteri Kehakiman saat itu berhasil dibentuk organisasi advokat Indonesia baru yang bernama Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) pada tanggal 10 Oktober 1985. Dan organisasi baru ini juga dimaksudkan sebagai organisasi Advokat satu-satunya (wadah tunggal) bagi profesi Advokat di Indonesia. Akan tetapi keinginan tersebut mendapat perlawanan keras dari berbagai kalangan, khususnya dari kalangan Pengacara Praktek yang tidak dapat diakomodir didalam organisasi IKADIN.
Disisi lain dengan adanya perbedaan status antara Advokat dan Pengacara Praktek, adanya perbedaan pandang dalam sistim transformasi kepemimpinan dan mekanisme dalam organisasi, campur tangan dan itervensi penguasa (pemerintah) sampai dengan keinginan Advokat untuk membuat adanya spesialisasi atau kekhususan dalam prakteknya pada aspek-aspek hukum tertentu, menjadi faktor akselerasi dan stimulasi Iahirnya organisasi-organisasi Advokat yang baru, yang secara berturut-turut adalah: Ikatan Penasehat Hukum Indonesia berdiri pada tanggal 9 Mei 1987, Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), berdiri 27 JuIi 1990, Serikat Pengacara Indonesia (SPI) berdiri 28 Juni 1998, Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) berdiri 4 April 1989, Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).
Masa Reformasi
1) Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI)
Komite ini dibentuk untuk pertama kali tanggal 11 Februari 2002 oleh tujuh organisasi advokat, yaitu:
- Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN)
- Asosiasi Advokat Indonesia (AAI)
- Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI)
- Serikat Pengacara Indonesia (SPI)
- Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI)
- Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM)
- Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI)
Dengan terbentuknya Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI), maka Forum Komunikasi Advokat Indonesia (FKAI) yang ada sebelumnya telah meleburkan diri ke dalam KKAI, sehingga FKAI tidak ada lagi dan KKAI adalah satu-satunya forum organisasi profesi advokat Indonesia.
Paling tidak ada 2 (dua) tugas penting yang harus dilaksanakan oleh Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) pada waktu itu, ialah ;
- Mengambil alih penyelenggaraan ujian advokat dari Mahkamah Agung; dan
- Memperjuangkan Iahirnya undang-undanga advokat.
Setelah kedua tugas berat itu dapat dilaksanakan dengan baik, maka KKAI yang pertama ini dinyatakan dibubarkan dengan membentuk Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) yang baru, dimana KKAI yang baru ini terdiri dari 8 (delapan) organisasi advokat, yaitu:
- Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN)
- Asosiasi Advokat Indonesia (AAI)
- Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI)
- Serikat Pengacara Indonesia (SPI)
- Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI)
- Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM)
- Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI)
- Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).
Sampai saat ini kedelapan organisasi asal pendiri Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) sebagaimana disebutkan diatas adalah juga sebagai pendiri Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Sebagai catatan perlu disampaikan bahwa sampai saat inipun tidak ada dan tidak benar ada satu atau beberapa dari organisasi asal pendiri Peradi tersebut telah keluar dari Peradi.
Adapun tugas-tugasnya adalah melaksanakan kewenangan organisasi advokat sebagaimana dimaksud oleh pasal 32, ayat (3) Undang-undang no. 18 tahun 2003 tentang Advokat, antara lain: melakukan verifikasi advokat Indonesia pasal 29 ayat (2), dalam halmana hasil verifikasi tersebut harus dibuat dalam bentuk salinan buku daftar anggota advokat. Buku daftar anggota advokat tersebut kemudian disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Tugas-tugas verifikaasi tersebut telah dimulai sejak Desember 2003.
2. Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI)
Organisasi advokat ini untuk pertama kali didekiarasikan pada tanggal 21 Desember 2004 dan perkenalan (launching) PERADI & pengurusnya dilaksanakan pada tanggal 7 April 2005 di Balai Sudirman, Jakarta. Dalam struktur kepengurusan organisasi advokat PERADI periode 2005-2010 adalah sebagai berikut:
Ketua Umum : Dr. Otto Hasibuan, S.H., M.M. W
Wakil Ketua Umum : H. Indra Sahnun Lubis, S.H.
Ketua : Denny Kailimang, S.H., M.H.
Ketua : Drs. J.B. Haryanto, S.H., M.B.A.
Ketua : Trimedya Panjaitan, S.H.
Ketua : Fred B.G. Tumbuan, S.H., L.Ph.
Ketua : Soemarjono S., S.H.
Ketua : Drs. Taufik, OH., M.H.
Sekretaris Jenderal : Harry Ponto, S.H., LLM.
Wakil Sekretaris Jenderal : H. Abd. Rahim Hasibuan, S.H.
Wakil Sekretaris Jenderal : DR. H.Teguh Samudera,S.H., M.H.
Wakil Sekretaris Jenderal : Hj. Elza Syarief, S.H., M.H.
Wakil Sekretaris Jenderal : Hasanuddin Nasution, S.H.
Wakil Sekretaris Jenderal : Hoesein Wiriadinata, S.H., LLM.
Bendahara Umum : H.M. Luthfie Hakim, S.H.
Wakil Bendahara Umum : Julius Rizaldi, S.H., B.Sc., M.M.
Wakil Bendahara Umum : Sugeng Teguh Santoso, S.H.
Wakil Bendahara Umum : Drs. Nur Khoirin Yd., M.Ag.
Pada saat launching tanggal 7 April 2005 tersebut juga PERADI telah menyerahkan buku daftar anggota advokat Indonesia yang telah diverifikasi kepada Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman dan HAM sebagai perwujudan pasal 29 ayat (2), (3) Undang-undang No. 18 tahun 2003.
Berdasarkan Keputusan Perhimpunan Advokat Indonesia Nomor KEP. 03/PERADI/2005, tanggal 21 Maret 2005 telah membentuk dan mensahkan berdirinya Komisi Pendidikan Profesi Advokat Indonesia (KP2AI) sebagai pelaksana Pendidikan Khusus Profesi Advokat dan Pendidikan Lanjutan, Continuing Legal Education (CLE).
Sebagai kelanjutan dari Pendidikan Khusus Profesi Advokat ini, PERADI akan melaksanakan ujian advokat pada sekitar bulan November setiap tahunnya sebagai perwujudan pasal 3 ayat (1) huruf f, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat.
EKSISTENSI DAN KONSTITUSIONALITAS PERADI
Bahwa Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dibentuk di Jakarta pada tanggal 21 Desember 2004. Dan diperkenalkan kepada public pada tanggal 7 April 2005 di Balai Sudirman, Jakarta. Dalam perkenalan tersebut selain dihadiri oleh keluarga besar Advokat yang datang dari seluruh Indonesia, termasuk Advokat senior Adnan Buyung Nasution, juga dihadiri oleh Ketua Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman Dan Hak asasi Manusia dan Jaksa Agung. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat diundangkan pada tanggal 5 April 2003. Pasal 32 ayat (4) dan ayat (3) menegaskan bahwa; “dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, Organisasi Advokat telah terbentuk”. “Untuk sementara tugas dan wewenang Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini dijalankan bersama …dst”. Pasal 28 ayat (1) menyebutkan Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas Advokat. Dan pasal 1 ayat (4) dengan tegas menyebutkan bahwa Organisasi Advokat adalah organisasi profesi yang didirikan berdasarkan Undang-Undang ini.
Dalam rangka memperkuat dan mendukung pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 secara konstitusional dan legalistik terkait dengan kedudukan Peradi sebagai satu-satunya organisasi Advokat Mahkamah konstitusi telah mengeluarkan Putusan Nomor 014/PUU-IV/2006. Ada 2 (dua) hal penting yang secara eksplisit yang termuat dalam Putusan tersebut, terkait dengan kedudukan Peradi sebagai organisasi Advokat, yaitu ; 1) organisasi PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat pada dasarnya adalah organ Negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara. 2) bahwa pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Advokat sesungguhnya merupakan pasal yang sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat 2 tahun dan dengan telah terbentuknya PERADI sebagai Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga tidak relevan lagi untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya.
Secara realitas PERADI sejak tahun 2003 telah mengeluarkan kartu Advokat yang berfungsi sebagai kartu beracara di muka sidang pengadilan di seluruh Indonesia. Kartu tersebut sebagai pengganti kartu beracara yang sebelumnya dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi. Dan sampai sekarang kartu tersebut tetap dipergunakan dan berlaku sebagai kartu satu-satunya untuk beracara di Pengadilan maupun di instansi penegak hokum lainnya, termasuk kepolisian dan kejaksaan. Dus dengan demikian PERADI telah secara factual melaksanakan amanat Undang-Undang Advokat.
Sejak tahun 2006 sebagai pengejawantahan dan pelaksanaan pasal 2, ayat (2) Undang-Undang Advokat PERADI telah pula melantik advokat baru sejumlah 2.781 orang yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Sebagai informasi dapat disampaikan bahwa tahun 2008 dalam ujian Advokat yang dilaksanakan pada tanggal 6 Desember 2008 telah lulus 1.323 orang advokat baru atau 36,10% secara nasional dari 3.665 orang peserta uji yang tersebar di 19 wilayah propinsi.
Sebagai pelaksanaan pasal 2, ayat (1) PERADI telah menyelenggarakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) bekerjasama dengan Fakultas-Fakultas Hukum maupun Lembaga-Lembaga lainnya di seluruh Indonesia, termasuk Papua dan Aceh. Sampai tahun 2008 PKPA PERADI telah diikuti oleh 17.004 orang peserta yang diselenggarakan dalam 349 kali penyelenggaraan dan diselenggarakan oleh 245 Lembaga penyelenggara.
C. JENIS -JENIS ORGANISASI ADVOKAT
1. yaitu ; organisasi Advokat dalam arti yang penuh, dimana sifat keanggotaan adalah wajib. Jika kehilangan keanggotaan, akan kehilangan hak untuk berpraktek di wilayah hukum organisasi Integrated/Compulsory Bar/Mandatory Bar/Obligatory Bar, advokat tersebut.
2. Voluntary Bar, yaitu ; sifat keanggotaanya tidak wajib.

D. BENTUK-BENTUK ORGANISASI ADVOKAT
1.. Single Bar, yaitu ; hanya ada satu organisasi Advokat dalam suatu yurisdiksi (wilayah hukum). Organisasi lain tetap mungkin ada tapi hanya satu yang diakui Negara dan para advokat wajib bergabung di dalamnya.
2. Multi Bar :
- advokat wajib bergabung dalam satu organisasi advokat
- advokat tidak wajib bergabung dalam satu organisasi mana pun
3. Federasi, yaitu ; seluruh organisasi Advokat yang ada bergabung dalam federasi di tingkat nasional. Sifat keanggotaannya adalah ganda, yaitu pada tingkat local dan nasional.
E. PERAN DAN FUNGSI ORGANISASI ADVOKAT
Suatu organisasi bisa dikatakan baik apabila organisasi tersebut dan organ-organnya dapat menjalankan fungsi dan perannya sesuai dengan apa yang digariskan maupun yang diatur oleh undang-undang, khususnya undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang advokat termasuk anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta kode etik advokat.
Pada saat dunia sudah terintegrasikan karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti saat ini, terutama teknologi komunikasi dan informasi, maka Organisasi Advokat sebesar PERADI harus bisa berperan setidak-tidaknya dalam 3 (tiga) hal pokok, yaitu: pertama; sebagai agen pembaharuan hukum, dimana didalamnya terkandung makna sebagai agent of law development dan agent of law enculturation. Pelaksanaan tugas dan peran semacam ini secara konsisten dan konsekuen pada gilirannya dapat menciptakan advokat sebagai profesi yang terhormat (officium nobile) yang dapat mengakomodir semua kepentingan yang bersifat global tanpa menghilangkan kepentingan lokal. Peran semacam ini penting karena pada akhirnya pembaharuan hukum itu harus bertujuan untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat luas.
Sebagai agen pembaharuan hukum organisasi advokat harus bisa tampil lugas dan tegas, terutama jika berperan selaku fasilitator, mediator dan konsiliator terhadap semua kepentingan masyarakat yang ada. Hal ini penting mengingat bahwa selama ini belum ada organisasi advokat di Indonesia yang dapat melakukan peran semacam ini. Dalam rangka untuk mencapai kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan sebagaimana dimaksud, maka peran organisasi advokat yang kedua dan tidak kalah penting adalah sebagai penegak hukum sebagaimana diamanatkan oleh pasal 5 ayat (1), undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang advokat untuk mewujudkan keadilan dan hak asasi manusia.
Dan ketiga adalah dalam rangka peningkatan kualitas advokat. Jika kita perhatikan ketiga peranan organisasi advokat ini, maka dapat disimpulkan bahwa apabila peran ini dapat diselenggarakan dengan konsisten dan konsekuen oleh advokat, maka kesejahteraan rakyat yang kita idam-idamkan tersebut mungkin bisa mendekati kenyataan. Dengan demikian, maka beberapa tugas penting dan mendesak yang dilakukan oleh organisasi advokat khususnya PERADI saat ini adalah, antara lain:
1. menyelenggarakan pendidikan khusus advokat (sekarang ini sedang berlangsung);
2. mengangkat advokat (pasal 2 ayat (2));
3. menyelenggarakan ujian advokat (pasal 3 ayat (1) huruf f);
4. menyelenggarakan peradilan profesi melalui Dewan Kehormatan dan Majelis Kehormatan (pasal 7, pasal 26, dan pasal 27).;
5. memberhentikan advokat (pasal 9 ayat (1));
6. mengawasi advokat (pasal 12 ayat (1));
7. membentuk kelengkapan organisasi advokat (pasal 13 ayat (1)), pasal 27 ayat (1), dan pasal 27 ayat (4));
8. membentuk aturan-aturan Organisasi Advokat (pasal 13 ayat (3), pasal 26 ayat (1), pasal 27 ayat (5);
9. membentuk Buku Daftar Advokat (pasal 29 ayat (2));
10. merekomendasikan izin advokat asing (pasal 23 ayat (2)), dan
11. memfasilitasi magang calon advokat (pasal 29 ayat (5)).
Beberapa fungsi dan peran organisasi advokat yang dipandang perlu dilaksanakan oleh PERADI saat ini yang didasarkan pada konsep bar association adalah sebagai berikut:
1. menjaga dan meningkatkan standar prilaku advokat di Indonesia;
2. meningkatkan pengetahuan dan keterampilan profesi advokat di Indonesia;
3. membantu perumusan kebijakan yang berkaitan dengan hukum dan peradilan;
4. memperjuangkan dan menjaga integritas serta kemandirian peradilan;
5. melindungi serta memperjuangkan kepentingan profesi advokat di Indonesia;
6. melindungi dan memperjuangkan kesempatan yang sama bagi setiap anggota masyarakat dalam mendapat jasa hukum dan bantuan hukum di Indonesia;
7. turut mendidik masyarakat tentang hukum, proses hukum, prinsip hukum, dan hak-hak warga negara dalam sistem hukum dan peradiIan;
8. mengupayakan terciptanya hubungan yang baik antara advokat serta antara advokat dengan masyarakat dan unsur peradilan lain nya;
9. membina hubungan baik dengan organisasi advokat di negara lain dan di tingkat internasional
Pembentukan Organisasi Advokat di Indonesia, Keharusan atau Tantangan?, halaman 31 dan 32, Binjiad Kadafi, Hadi Herdiansyah, Reni Rawasita Pasaribu dan Sonny Tresnantya M.P..

F. KESIMPULAN
Dalam rangka untuk dapat mewujudkan organisasi advokat yang mandiri dan profesional, maka organisasi advokat harus tampil lugas dan tegas dalam menerapkan aturan-aturan organisasi, terutama kode etik yang merupakan pilar utama dan suatu organisasi. Kalau kita bisa menerapkan dan melaksanakan kode etik secara tegas, konsekuen dan konsisten, maka dapat dipastikan organisasi advokat akan tumbuh menjadi organisasi yang mandiri, tangguh dan profesional. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar